Bisa jadi pepatah inilah yang paling cocok menggambarkan kualitas mental pengemudi kendaraan umum di Jakarta saat ini. Pada tanggal 14 Maret 2016 lalu ratusan pengemudi taksi dan kopaja menggelar aksi mogok menuntut agar pemerintah membekukan operasi transportasi berbasis online (TBO). Mereka yakin sistem itu bertanggung jawab atas penurunan penghasilannya.
Transportasi alternatif menggunakan aplikasi online telah menjadi sorotan kritik sejak muncul di Indonesia pada tahun 2014. Dengan memanfaatkan teknologi internet, pelanggan dapat memesan armada yang dibutuhkan melalui telepon pintarnya. Aplikasi ini memastikan waktu, tempat penjemputan, jenis kendaraan, dan pengemudi yang akan disewa. Belum lagi dengan berbagai potongan harga dan sistem pembayaran daring (yang memungkinkan pengguna membayar hanya sebesar yang ditagihkan tanpa tips atau biaya tambahan), pilihan transportasi ini segera menjadi favorit. Tentu saja generasi muda yang akrab dengan teknologi informasi sangat terbantu dengan adanya TBO.
Namun, dibalik kesuksesan layanan TBO ini, ada “dosa” yang tidak akan dibiarkan begitu saja oleh para pengusaha transportasi konvensional. Bahwa armada yang beroperasi masih menggunakan plat hitam, yang notabene hanya diperuntukkan bagi kendaraan pribadi. Dengan begitu pengusaha transportasi berbasis aplikasi daring tidak perlu membayar pajak kendaraan umum, pengujian kendaraan (kir), dan semua embel-embel yang diperlukan suatu kendaraan agar dapat beroperasi sebagai angkutan umum. Akibatnya, TBO dapat menekan harga pelayanan.
Tuntutan para pengusaha dan pengemudi transportasi umum konvensional telah memaksa pemerintah saling tuding. Ingat ketika Presiden Jokowi membolehkan gojeg dengan alasan hadir karena kebutuhan masyarakat? Kemudian, Menteri Perhubungan mengeluarkan surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/PhB/2015 yang menyatakan bahwa ojek berbasis aplikasi daring tidak memenuhi ketentuan sebagai angkutan umum. Toh, sampai sekarang abang-abang (dan mbak-mbak) gojek masih berkeliaran di jalanan ibukota. Kehadiran TBO ini dianalisis oleh Rohani Budi Prihatin, peneliti Studi Kemasyarakatan dan Perkotaan, dalam Info Singkat Vol. VII No. 07 I/P3DI/April/2016.
Sekarang, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) panik lagi saat dituding masalah uber, sehingga menyurati Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) untuk memblokir aplikasi daring tersebut. Tentu saja Kemkominfo tidak semerta-merta melaksanakan ide tersebut, perlu ada pertimbangan mendalam. Apalagi dalam beberapa tahun ini, keahlian Kemkominfo dalam upaya memastikan internet memadai, apalagi sehat, seperti jauh panggang dari api. Masih segar dalam ingatan ketika Kemkominfo memutuskan untuk memblokir berbagai platform media sosial yang memuat konten negatif seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual & Transeksual). Salah satu yang situs yang menimbulkan keriuhan adalah tumblr. Cukup satu hari sejak pengumuman blokir disampaikan, situs yang didominasi para seniman itu tetap dapat dibuka seperti biasa. Oleh karena itu, Kemkominfo memang harus berhati-hati untuk mengeluarkan ancaman pemblokiran apapun, karena di sini Pemerintah harus berhadapan dengan keinginan dan kebutuhan rakyat.
Kembali ke masalah transportasi berbasis aplikasi, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah sebelum memvonis TBO ini. Pertama, transportasi umum masih jauh dari memadai, baik dalam hal fungsi, kelayakan, apalagi keamanan.
Kedua, semakin tingginya tingkat kemacetan, yang salah satunya disebabkan oleh buruknya perilaku berjalan raya. Tidak dapat dipungkiri bahwa armada transportasi umum menyumbang banyak masalah dalam peta kemacetan, terutama di kota besar. Angkot, kopaja, dan sejenisnya sering berhenti di tempat terlarang dalam waktu lama. Ketika pihak berwenang berjaga untuk menertibkan, mereka mengutuk ketidakadilan polisi. Ini memperlihatkan perilaku berkendara yang negatif. Yang memang salah satunya dipengaruhi oleh ketidakkonsistenan aparat dalam mengatur lalu lintas. Ditambah pula penumpang yang seenaknya memberhentikan kendaraan di manapun. Jadi, ketiga belah pihak perlu berkontemplasi.
Ketiga, meningkatnya minat masyarakat untuk melakukan cost sharing. Kita memasuki era dimana kebanyakan kebutuhan hidup dapat diperoleh dengan berbagi. Para blogger menulis masyarakat masa kini sebagai wecitizen. Salah satunya dengan berbagi kendaraan. Salah satu komunitas, nebengers, tumbuh di kota besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan transportasi murah. Dengan menumpang (nebeng) kendaraan orang lain, otomatis akan mengurangi jumlah kendaraan di jalanan dan biaya yang dibutuhkan karena adanya cost sharing. Konsep ini sebenarnya mirip dengan transportasi umum berbasis aplikasi, hanya saja pengemudi cukup mengikuti tujuan yang diinginkan penumpang.
Penumpang tentu menginginkan transportasi yang cepat, nyaman, dan murah. Inilah yang semestinya menjadi tujuan dari semua pengusaha transportasi dan pemerintah. Transportasi yang nyaman merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga kewarasan masyarakat. Bagi pengemudi sendiri, stres menyebabkan penilaian kognitif negatif terhadap situasi mengemudi (Glendon et al., 1993; Gulian, 1987;Hennessy & Wiesenthal, 1997, dalam Dwight, Wiesenthal, & Kohn, 2000:162). Penelitian lain oleh Novaco,dkk (2005) menekankan bahwa berbagai kondisi transportasi merupakan sumber stres psikologis, yang memengaruhi fisik, performa kerja, dan mood para pelaju.
Oleh karena itu, kehadiran TBO semestinya dijadikan pemicu evaluasi agar terjadi peningkatan mutu dan sistem transportasi yang selama ini berlaku, bukan dijadikan ancaman bagi pengusaha transportasi yang berujung pada kerugian penumpang dan pengemudi. Saat ini, penumpang dan pengemudilah yang paling dirugikan jika TBO dan transportasi konvensional berkonflik. Ingat, saat ini pengusaha besar tidak terkena dampak, karena berlindung dibalik kesengsaraan sopir taksi yang berdemo. Mereka tidak memperhatikan kesulitan “mitra kerja”nya dengan tetap mematok setoran tinggi meskipun Kemenhub telah menurunkan tarif taksi.
Referensi
Hennessy, Dwight A., Wiesenthal, David L., & Kohn Paul M. The Influence of Traffic Congestion, Daily Hassles, and Trait Stress Susceptibility on State Driver Stress: An Interactive Perspective. Journal of Applied Psychology, 2000, 5, 2, hal. 162-179
Novaco, Raymond W., Transportation, Stress, and Community Psychology. American Journal of Community Psychology, 7:4 (1979:Aug.) p.361
Prihatin, Rohani Budi. Dampak Sosial Transportasi Berbasis Online. Info Singkat Vol. VII No. 07 I/P3DI/April/2016, hal. 9-12.
0 notices:
Post a Comment