
Pendidikan merupakan sebuah proses yang kompleks, yang membutuhkan partisipasi semua orang. Layaknya sebuah kerja kelompok, beban pendidikan harus dibagi kepada orang tua, guru dan masyarakat.
Sayangnya, dengan kesibukan dan tuntutan sosial yang semakin membelenggu, hubungan antara guru dan orang tua seringkali kehilangan arah. Kasus guru yang mencubit murid bisa menjadi cerminan kondisi ini. Guru mencubit murid yang melanggar aturan sekolah, lalu si murid memberi tahu orang tuanya. Orang tua tidak terima anaknya dikerasi lalu menyeret guru ke pengadilan yang menuntutnya 6 bulan penjara. Meskipun sudah ada upaya perdamaian antara guru dan keluarga, si guru masih harus berhadapan dengan hukum.
Kasus guru mencubit murid yang berakhir di meja hijau bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya Guru di Sekolah Menengah Pertama di Bantaeng, Sulawesi Selatan juga diadukan setelah mencubit muridnya bulan Agustus tahun 2015 lalu. Siswi yang bermain cipratan air pel hingga mengenai sang guru kemudian ditegur. Siswi mengaku dicubit kedua pahanya dan ditinju dadanya.

Ketiga kasus di atas, seperti yang disampaikan Faridah Alawiyah dalam Info Singkat Vol. VIII No. 12/II/P3DI/Juni/2016 kurangnya komunikasi antara guru dan orang tua menjadi salah satu penyebab konflik. Jelas-jelas anak melakukan kesalahan, tapi yang menjadi fokus dalam penyelesaiannya bukanlah bagaimana perilaku anak dapat dikoreksi. Jika kita lihat di media sosial ada yang menyalahkan orang tua karena terlalu gampang mengadukan guru, sedangkan guru juga dianggap terlalu kasar dalam mendidik. Tapi, kita lupa, kira-kira apa pelajaran yang didapat anak dari kasus ini? Apakah setelah kasus ini berakhir anak akan belajar dari kesalahan dan memperbaiki perilakunya? Atau ia akan terus 'mengadu' kepada orang tua jika ada perlakuan guru/sekolah yang tidak berkenan di hatinya?
Orang tua yang sudah pernah di'eksploitasi' oleh anaknya mungkin yang paling paham. Ingatkah anda ketika anak meminta mainan kepada ibu, tapi ibu menolak. Kemudian anak mendekati Ayah dan keinginannya dikabulkan. Sejak saat itu Ibu menjadi 'sulit' sedangkan Ayah menjadi 'baik'. Pembelajaran negatif yang didapat oleh anak adalah ia bisa mendapatkan keinginannya asalkan dapat memainkan kartunya pada orang yang 'lemah'. Padahal, ibu memiliki alasan untuk tidak membelikan mainan, misalnya karena si anak sudah terlalu banyak mainan atau akan diberikan sebagai hadiah jika mencapai prestasi tertentu. Dengan diloloskannya proposal permintaan itu oleh Ayah, maka nilai mainan sebagai reward menjadi hilang. Begitu pula kesempatan orang tua untuk melakukan reinforcement.
Tampaknya orang tua dan guru/sekolah jaman sekarang lupa bahwa mereka memiliki misi yang sama. Masing-masing merasa cara kerjanya yang paling oke. Sama seperti bagaimana masing-masing kementerian dan lembaga negara bekerja saat ini, menjunjung ego sektoral masing-masing sehingga program-program bersama sulit diselesaikan.
Referensi
- "Gegara Anaknya Dicubit, Wali Murid di Singkep Tuntut Guru Dipindah", http://batam.batamtoday.com/berita71145-Gegara-Anaknya-Dicubit,-Wali-Murid-di-Singkep-Tuntut-Guru-Dipindah.html, diakses tanggal 18 Juli 2016
- "Anak Dicubit, Orang Tua Murid Adukan Guru ke Polisi", http://news.okezone.com/read/2016/05/03/340/1379169/anak-dicubit-orang-tua-murid-adukan-guru-ke-polisi, diakses tanggal 18 Juli 2016
- "Cubit Siswi Anak Polisi, Guru Bantaeng Masuk Penjara", http://www.tribunnews.com/regional/2016/05/17/cubit-siswi-anak-polisi-guru-bantaeng-masuk-penjara?page=4, diakses tanggal 18 Juli 2016.
- "Ini Kelakuan Sebenarnya Bocah Alay yang Ngadu Dicubit Guru",http://www.bintang.com/lifestyle/read/2544049/ini-kelakuan-sebenarnya-bocah-alay-yang-ngadu-dicubit-guru
0 notices:
Post a Comment