
Polisi Grobogan, Jawa Tengah menyatroni toko swalayan dan menyita beberapa buku terkait dengan tokoh-tokoh partai komunis Indonesia (PKI). Ada tujuh judul buku yang disita polisi, yaitu Siapa Dalang G30S PKI, The Missing Link G30S PKI, Fakta dan Rekayasa G30S PKI, Komunisme Ala Aidit, Tempo Musso, Peristiwa 1 Oktober, dan Nyoto Peniup Saxofon di Tengah Prahara.
Kalau kita melihat sejarah, pelarangan edar buku telah terjadi bahkan sebelum Indonesia berdiri. Kasus-kasus tulisan yang dianggap menentang pemerintahan di masa kolonial belanda dilarang terbit di surat kabar dan koran.
Pada era Bung Karno, bahkan novel dan puisi seperti karya ST Alisjahbana pun dilarang beredar. Kebijakan ini semakin subur di jaman orde baru, dimana Kejaksaan Agung memiliki kewenangan untuk melarang beredarnya suatu buku. Masih ingat sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang pada tahun 1960-an ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Era reformasi memberikan sedikit perubahan, namun tetap menekan penulis buku-buku yang isinya dianggap berpotensi memecah belah kesatuan republik Indonesia. Bahkan buku yang “mengancam” tokoh tertentu. Misalnya “Gurita dari Cikeas” yang ditulis George Junus Aditjondro. berkat buku tersebut si penulis pun dilaporkan ke polisi.
Pembredelan buku ibarat sebuah “aborsi” yang membunuh generasi yang akan dilahirkan. Alih-alih mengantisipasi ancaman polemik dan ketertiban umum, pelarangan buku oleh negara mengindikasikan paranoia penguasa atas ancaman terhadap kekuasaan yang sedang berjalan (Iwan Awaluddin Yusuf dkk., 2010:2)
Sejarah memperlihatkan betapa buku memberikan pengaruh besar terhadap manusia. Ide-ide yang disampaikan dalam buku membentuk perilaku orang. Wajar jika buku dapat menjadi “senjata” dalam proses perjuangan. Oleh karena itu, buku yang dianggap
Pengawasan merupakan kata yang bermakna ganda. Di satu sisi digunakan sebagai tameng untuk menghancurkan ide ide yang dianggap berdampak negatif pada masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain merupakan tameng untuk melindungi kepentingan tertentu.
Dalam kasus buku pendidikan yang dianggap tidak sesuai dengan pembacanya, pelarangan buku menjadi pahlawan. Namun pada pemberangusan buku-buku yang dianggap mendiskreditkan orang-orang tertentu, pelarangan menjadi pelanggaran bagi kebebasan berpendapat. Tampaknya peraturan di republik ini memang tidak konsisten, sehingga digunakan pihak-pihak tertentu untuk menguntungkan dirinya.
Munculnya upaya merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Perbukuan Nasional sudah dimulai sejak 2 periode masa kerja dewan. Konsep dasarnya adalah menjadikan buku dapat diakses semua orang. permasalahan buku bukan saja masalah distribusinya, namun juga kemunculannya. Jumlah buku yang diterbitkan masih jauh dari cukup. Tidak dapat dipungkiri penulisan buku bukan sebuah perkara gampang. David Remnick menulis bahwa satu-satunya cara untuk dapat menuju kemana-mana sebagai seorang penulis adalah dengan membaca terus menerus dan kemudian membaca lagi. Semakin banyak yang dibaca, barulah seorang penulis dapat menggoreskan tintanya. Dengan begitu, kehadiran buku menjadi penting bagi lahirnya karya-karya berikutnya.
RUU Sisbuknas sejatinya ingin mendorong para penulis untuk giat memproduksi ide-ide. Oleh karena itu, selain mengatur pengurangan beban masalah teknis (royalti, biaya cetak, dsb), RUU ini ingin menagaskan mandat pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Bukan hanya kebebasan penulis yang diayomi, tetapi juga hak pembaca untuk mendapatkan pengetahuan. Kebebasan inilah yang menjadikan budaya baca dan menulis menjadi subur, sebagaimana harapan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan dalam rapat panja RUU Sisbuknas pertama tanggal 26 April 2015 lalu. “..bukan hanya kualitasnya (yang ditingkatkan), tapi juga ekosistemnya (dikembangkan)”.
Referensi
Iwan Awaluddin Yusuf, Wisnu Martha Adiputra, Masduki, Puji Rianto, Saifudin Zuhri.2010. PELARANGAN BUKU DI INDONESIA: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Yogyakarta:Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) & Friedrich Ebert Stiftung (FES).
0 notices:
Post a Comment