Politisasi LGBT: antara id dan super ego


Isu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) menjadi meresahkan setelah komunitas LGBT menarik perhatian khalayak dengan beberapa tuntutan yang intinya ingin diakui sebagai salah satu keragaman bangsa. Pilihan seksual merupakan hak asasi manusia dan harus dilindungi selama ia berada dalam ranah privat. Menjadi LGBT hampir sama dengan orang yang menonton film porno, pastinya sebuah hal yang memalukan jika dilakukan di muka umum. Akan tetapi, tidak ada hukum yang melarang. Begitu juga dengan LGBT, tidak ada aturan yang melarang orang menjadi lesbi, gay, biseksual dan transgender. Akan tetapi, negara bertujuan untuk menjaga kesejahteraan semua, tidak pula lantas negara memfasilitasi perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat kebanyakan. 

LGBT bukanlah hal yang biasa. Di setiap generasi, masyarakat tidak pernah menerima perilaku penyimpangan seksual sebagai suatu hal yang lumrah. Akan tetapi, ada upaya-upaya ilmiah yang berusaha mengubah persepsi masyarakat mengenai LGBT.

Adalah peristiwa kerusuhan Stonewall pada tanggal 28 Juni 1969 yang dianggap sebagai katalis pergerakan LGBT. Pada saat itu konsumen gay dari kafe gay bernama Stonewall Inn memulai kerusuhan karena tidak tahan dengan gangguan polisi. Mereka berdemonstrasi dan menyerukan “ kekuatan gay” menuntut dukungan untuk hak-hak kaum gay, dan dalam waktu 2 tahun setelahnya, kelompok-kelompok gay telah terbentuk di hampir semua kota besar di Amerika. Desakan kaum gay didukung oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa homoseksualitas dianggap sebagai bawaan lahir dan perlu diklasifikasikan sebagai gender ketiga. Salah satunya adalah penelitian Alfred Kinsey dkk (1940-1950-an) yang menemukan bahwa homoseksual bukan lagi sebuah patologi, melainkan bergeser secara budaya menjadi variasi seksualitas manusia normal. Sejalan dengan itu, penelitian Clellan Ford dan Frank Beach mengenai Pola-pola Perilaku Seksual (1951) juga menyimpulkan bahwa homoseksualitas adalah hal natural dan tersebar luas. Berdasarkan desakan tersebut, American Psychiatric Association (APA) mengeluarkan homoseksualitas dari DSM di tahun 1973, sehingga homoseksualitas dirasionalisasikan sebagai variasi seksual. 

Akan tetapi, keputusan APA tidak diterima begitu saja. Peneliti lain muncul dengan temuan yang menyanggah dasar deklasifikasi tersebut, menyebabkan APA menyatakan di dalam DSM versi IV bahwa: “It is important to note that notions of deviance, standards of sexual performance, and concepts of appropriate gender role can vary from culture to culture.” Perlu dicatat bahwa pendapat mengenai penyimpangan, standar performa seksual, dan konsep-konsep peran gender yang tepat berbeda pada setiap budaya.

Inilah yang menjadi dasar pandangan dalam tulisan “Memaknai Perilaku LGBT di Indonesia (Tinjauan Psikologi Abnormal)”  di edisi Info Singkat Vol. VIII no. 05/I/P3DI/Maret/2016 ini. Beberapa instansi pemerintah, kelompok agama, dan akademisi di bidang kejiwaan menolak budaya LGBT sebagai salah satu praktek yang berkembang bebas di Indonesia, meskipun begitu mereka juga tidak ingin pelaku LGBT mendapatkan diskriminasi. Berbeda dengan dunia internasional, secara umum Indonesia menganggap perilaku LGBT adalah persoalan kejiwaan yang membutuhkan pemulihan, dan karenanya menolak beragam bentuk propaganda LGBT di Indonesia. Sikap yang demikian mengacu kepada norma-norma yang berlaku di Indonesia yang berbeda dengan norma-norma di negara lain, yaitu Pancasila. Sila pertama-nya menunjukkan nilai- nilai Ketuhanan menjadi bagian dari jiwa bangsa Indonesia sehingga budi pekerti serta cita-cita moral rakyat yang luhur dan sesuai dengan prinsip- prinsip Ketuhanan yang harus dipegang teguh (Winurini, 2016).

Indonesia bukan negara agama, tapi dasar negara kita menegaskan bahwa segala sistem yang berlaku didasarkan pada religiusitas, kepercayaan terhadap Tuhan. Oleh karena itu, nilai di masyarakat selalu berlandaskan nilai-nilai agama. Jelas bahwa tidak ada agama yang membenarkan LGBT. Bapak Psikologi, Sigmund Freud pernah mengatakan  “Naturally, the emphasis ought to be put on social measures” pada hakikatnya, penekanan harus diletakkan pada ukuran sosial (Wortis, 1954: 56).

Para penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) selalu menuntut agar adanya kebebasan bagi pelaku LGBT. Akan tetapi, kebebasan seperti apa yang diinginkan di sini, karena pada hakikatnya setiap pelaku LGBT berhak hidup tanpa takut diusir, tidak ada juga di Indonesia diberlakukan area non-LGBT seperti yang berlaku di Amerika ketika banyak tempat-tempat umum memasang tulisan melarang penduduk kulit bewarna masuk. Pelaku LGBT bebas memilih pekerjaan mereka, juga bisa bersekolah di mana saja. Ketika mereka merasa disewenang-wenangi dalam hal pemilihan jenis kelamin, maka perlu diketahui bahwa pilihan gender yang ada di kartu identitas adalah berdasarkan fisik, bukan psikologis. 

Jika kita selami, tuntutan HAM dari negara-negara yang merasa paling benar sedunia seringkali tidak memperhatikan norma yang berlaku di masyarakat. Seolah mereka memaksa untuk membiarkan id manusia muncul mengalahkan super egonya. Padahal, sebagai makhluk sosial, manusia harus berkompromi dengan nilai-nilai yang dimiliki orang lain dalam lingkungannya, agar dapat menciptakan kehidupan yang harmonis. Ingat, kebebasan seseorang dibatasi oleh kebeasan orang lain, sehingga pada hakikatnya tidak ada kebebasan absolut. Bayangkan jika semua orang tidak memperhatikan pandangan orang lain, dan menyalurkan id nya sepuas-puasnya, apa perbedaan kita dengan binatang?


Referensi:
Winurini, Sulis. Memaknai Perilaku LGBT di Indonesia (Tinjauan Psikologi Abnormal)”, Singkat Vol. VIII no. 05/I/P3DI/Maret/2016.
Wortis, J. (1954). Fragments of an analysis with Freud. New York: Charter Books.

0 notices:

Post a Comment