Agresivitas di Indonesia

Pada tanggal 28 September 2010, malam, kota Tarakan digemparkan dengan bentrokan antara warga pendatang dengan pribumi. Korban jiwa jatuh dan puluhan penduduk mulai mengungsi dari kota berpenduduk 178.111 jiwa. Kota ini pada awalnya hanya didiami oleh suku asli Tidung, namun, dalam perkembangannya banyak penghuni baru dari suku-suku lain seperti; Suku Dayak, Banjar, Jawa, Bugis, Tionghoa, dan lain-lain. Islam merupakan agama dengan pemeluk mayoritas (152.899) disini, diikuti Kristen Protestan (16.477), Kristen Katolik (4.745), Budha (2.704), Hindu (91) dan lain-lain (3). Berdasarkan laporan warga, dalam kerusuhan tersebut tiga orang dikabarkan tewas, satu lainnya berada dalam keadaan kritis dan sebuah rumah ludes terbakar. Belum lagi korban harta benda yang hancur dalam pertikaian tersebut, kerugiannya tidaklah sedikit. Kasus bentrokan antarkelompok di Indonesia, semakin sering terjadi.


Dalam tujuh bulan terakhir media telah memberitakan sedikitnya 10 peristiwa bentrokan antarkelompok terjadi di seluruh pelosok negeri, di antaranya:

1. 14 April 2010, Kerusuhan Mbah Priok antara Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Jakarta Utara dengan warga sekitar makam Mbah Priok. Jumlah korban jiwa 4 anggota Satpol PP tewas;

2. 21 Mei 2010, terjadi demo anarkis di DPRD Mojokerto. Massa mendatangi Gedung DPRD Mojokerto yang pada saat itu sedang dilaksanakan pemaparan visi misi pasangan calon bupati dan calon wakil bupati. Massa melempari aparat dan gedung dewan dengan bom molotov dan membakar sedikitnya 22 mobil;

3. 21 Agustus 2010, terjadi bentrokan antara warga Kampung Taar dan Un Pantai yang dipicu masalah tapal batas kampung. Korban jiwa akibat konflik ini adalah seorang wartawan SUN TV yang dikeroyok massa;

4. 31 Agustus 2010, terjadi penyerbuan Mapolsek Buol oleh ratusan massa. Aksi bakar yang dilakukan menyebabkan 7 orang tewas;

5. 5 September 2010, terjadi penusukan jamaah Gereja HKBP Bekasi yang berujung pada bentrok massal.

6. 28 September 2010, kerusuhan di Tarakan antara suku pendatang dengan masyarakat pribumi;

7. 6 Oktober 2010, terjadi tawuran murid SMK Bina Siswa di Jl. Daan Mogot, Jakarta Utara;

8. 6 Oktober 2010, terjadi amukan warga Kampung Sindai, Desa Pajagan, Kecamatan Sajira, Lebak, Banten, terhadap petugas BPN dalam hal sengketa pengukuran tanah;

9. 10 Oktober 2010, terjadi penyerangan tiga pos polisi di Bandung oleh massa tak dikenal yang menyebabkan fasilitas di pos polisi hancur; dan

10. 11 Oktober 2010, diduga ada pembakaran 21 gerbong kereta api dengan sengaja di Rangkas Bitung.

Sebagai negara dengan beragam etnis dan ideologi, konflik antar kelompok menjadi hal yang rawan terjadi. Pergesekan antara satu golongan dengan golongan lainnya mudah berujung pada konflik, baik konflik batin maupun fisik.

Secara garis besar, penyebab konflik antarkelompok di Indonesia disebabkan oleh dua hal:

1. Faktor internal Secara internal, hal yang mempengaruhi timbulnya pertikaian berfokus pada aspek kognisi dan konasi. Dengan kata lain persepsi masyarakat terhadap kelompoknya dan kelompok di luarnya membentuk stigma yang menimbulkan perilaku tertentu. Faktor internal terkait dengan kemampuan diri untuk mengendalikan diri terhadap hal-hal yang dapat memancing konflik. Faktor internal yang pada umumnya mempengaruhi konflik antargolongan di Indonesia, antara lain: - kurangnya kesadaran bernegara; - pengetahuan yang rendah mengenai kelompok lawan; - tingkat toleransi semakin rendah; dan - kondisi emosi yang labil.

2. Faktor eksternal Faktor eksternal sangat terkait dengan kondisi emosi sehingga dapat dikatakan secara tidak langsung mempengaruhi terjadinya konflik. Misalnya kondisi perekonomian yang memburuk sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi. Biasanya mereka dengan tingkat ekonomi rendah cenderung mudah terhasut dan marah. Faktor eksternal yang pada umumnya mempengaruhi konflik antargolongan di Indonsia, antara lain: - kondisi sosial ekonomi; - peraturan yang berlaku; dan - kondisi politik.

Perilaku agresif diatas merupakan cerminan dari nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Freud menjelaskan bahwa perilaku agresif merupakan sifat dasar yang ada pada setiap manusia. Agresivitas merupakan bentuk adaptasi terhadap permasalahan yang dihadapi. Semakin maraknya kasus kerusuhan merupakan indikasi tingginya agresivitas masyarakat dan rendahnya kemampuan mengontrol emosi.

Agresivitas dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi

Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Perilaku agresif dianggap sebagai suatu gangguan perilaku apabila bentuk perilakunya luar biasa; bersifat kronis (artinya perilaku ini bersifat menetap, terus-menerus, tidak menghilang dengan sendirinya); dan perilakunya tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma sosial atau budaya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas seseorang, yaitu:

1. Biologis, antara lain dipengaruhi oleh :

a) Gen. Sebuah penelitian terhadap hewan menemukan bahwa hewan jantan yang berasal dari keturunan mudah marah akan lebih gampang terpancing emosinya dibandingkan betinanya.

b) Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi berpengaruh terhadap insting agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Orang yang kurang bahagia cenderung lebih sering melakukan agresi dibandingkan mereka yang mendapatkan kesenangan. Keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.

c) Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Ketika tikus dan beberapa hewan lain dalam sebuah eksperimen disuntikkan hormon testosteron (hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka hewan-hewan tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Demikian juga ketika kadar estrogen dan progresteron pada kaum perempuan menurun (dalam siklus haid), pelanggaran hukum sering terjadi karena adanya perubahan perasaan yang menjadi mudah tersinggung, gelisah, tegang, dan bermusuhan.

2. Geografis

Bentuk dan posisi suatu daerah mempengaruhi bagaimana penduduknya berperilaku. Contohnya Tarakan, yang merupakan kota pesisir dimana kebanyakan pekerjaan penghuninya terkait dengan perikanan. Sifat dan karakteristik masyarakatnya dipengaruhi oleh usaha perikanan tangkap, usaha perikanan tambak, dan usaha pengolahan hasil perikanan sebagai bidang usaha dominan di tempat ini. Profesi tersebut di atas sangat tergantung pada kondisi alam, maka masyarakatnya pada umumnya memiliki sifat moody, mudah berubah, dan cepat terpancing emosinya. Karakteristik masyarakat pulau kecil yang unik semacam ini pada umumnya rentan dan peka terhadap berbagai macam tekanan manusia maupun tekanan alam. Oleh karenanya interaksi sosial yang ada di dalamnya pun beresiko tinggi menimbulkan konflik. Contoh yang sama terlihat juga dalam kasus Mbah Priuk dimana lokasi konflik berada di dekat laut yang menjadikan tempat ini berhawa panas dan memiliki pasokan air bersih yang kurang memadai. Dipicu kurang nyamannya lingkungan tempat tinggalnya, masyarakat setempat cenderung cepat tersulut emosinya.

3. Sosial

a. lingkungan keluarga

Pola asuh yang diterapkan dalam keluarga akan terlihat dalam perilaku anak. Orang yang dibesarkan dengan kekerasan cenderung mudah memperlihatkan perilaku agresi. Pada saat dewasa, apabila tidak dapat mengontrol emosinya, dapat memperlihatkan perilaku agresif dengan dampak kerusakan yang jauh lebih hebat dibandingkan dampak perilaku anak-anak. Perilaku agresi yang diberikan penguat (reinforcement) dapat terus muncul dan muncul ketika seseorang dewasa, dan menjadikan perilakunya tersebut sebagai perilaku normalnya.

b. lingkungan sekolah Sekolah bukan hanya tempat belajar tetapi juga mendidik. Ketika sekolah lebih mengutamakan pembelajaran, maka terjadi pengabaian terhadap penanaman nilai-nilai moral dalam kehidupan murid.

c. budaya Lingkungan tempat seseorang bergaul merupakan media yang selalu memberikan masukan terhadap pola pikir yang berujung pada perilakunya. Inilah yang menyebabkan timbulnya prejudice terhadap suku-suku tertentu. Ada yang dilabeli pemarah, ada pula yang dilabeli ramah, dan sebagainya. Setiap suku memiliki pola interaksi yang berbeda.

Ditemukan bahwa daerah- daerah dimana dominasi pria secara emosional tidak dibarengi dengan kontribusi dalam masyarakat, cenderung menunjukkan perilaku agresif. Misalnya, pada suku dimana ada kebiasaan untuk membiarkan para pria bermalas-malasan dan berjudi sementara para wanita sibuk di sawah, terhitung lebih sering berada dalam situasi konflik. Secara psikologis, agresivitas pria disini didorong upaya pelampiasan energi yang tidak habis digunakan untuk bekerja. Di tempat lain yang terpapar jangkauan media, kebudayaan cenderung beradaptasi dengan informasi yang diterima dari media tersebut. Mereka yang sering menemukan kekerasan dalam tontonan, bacaan ataupun musik yang didengar, cenderung mudah menginternalisasi nilai-nilai agresivitas menjadi suatu hal yang lumrah dan dapat dilakukan dalam keseharian.

Perilaku agresif ini dapat ditampilkan secara berkelompok dan ada yang secara tunggal (soliter). Pada perilaku agresif yang berkelompok biasanya ada yang berperan sebagai ketua dan memerintahkan anggota kelompok lain untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Anggota kelompok seringkali memiliki masalah yang hampir sama sehingga merasa senasib. Perilaku agresif cenderung dilakukan cenderung secara fisik. Sedangkan pada perilaku agresif yang bersifat soliter, pelaku biasanya berada di luar kelompok. Pada tipe soliter, pelaku tunggal biasanya berada di luar kelompok. Ia adalah orang yang cenderung memiliki hambatan berinteraksi sosial, seringkali menjauhkan diri dari orang lain sehingga lingkungan juga menolak keberadaannya.

Bentuk perilaku agresifnya dapat berupa fisik maupun verbal seperti memukul, berkelahi, mengejek, berteriak, tidak mau mengikuti perintah atau permintaan, menangis atau merusak.

Upaya Pemerintah dalam Penanganan Konflik

Tindakan Pemerintah dalam menyelesaikan konflik-konflik antarkelompok di Indonesia selama ini masih bersifat kuratif, yaitu penanganan setelah konflik berlangsung. Beberapa upaya yang telah Pemerintah lakukan selama ini, antara lain dengan:

a. Melakukan penegakan hukum.

Dalam upaya penegakan hukum ini pemerintah melakukan penertiban terhadap konflik yang terjadi. Seringkali pemerintah menggunakan kekerasan dalam menertibkan konflik. Padahal dalam Prosedur Tetap (Protap) No. 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarki diatur bagaimana aparat keamanan bertindak terhadap sasaran yang merupakan gangguan nyata. Dalam Protap tersebut ada gradasi tindakan yang dapat dilakukan oleh aparat keamanan dalam menghadapi gangguan nyata tersebut, mulai dari penggunaan pentungan, gas air mata, tembakan peringatan, sampai tembakan ke sasaran yang tidak mematikan. Selain melakukan penertiban, pemerintah juga melakukan pengusutan lebih lanjut dalam menyelesaikan masalah yang terjadi agar konflik tidak terulang lagi di kemudian hari. Pemerintah melalui Kepolisian Republik Indonesia segera menyelidiki penyebab dan provokator pelaku kerusuhan.

b. Menjadi akomodator, yaitu penengah dalam konflik. Metode akomodasi yang dilakukan antara lain dengan arbritase (cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbritase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa), konsiliasi (cara penyelesaian suatu sengketa dengan mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berselisih), dan ajudikasi (cara penyelesaian sengketa atau perkara melalui pengadilan).

Namun ketika konflik dalam masyarakat terjadi karena Pemerintah dalam posisi sebagai pelaku konflik, upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan tersebut dilakukan dengan cara:

a. Kompromi, yaitu upaya penyelesaian konflik dengan persetujuan damai atau dengan mengurangi tuntutan antar pihak yang berkonflik. Seperti pada kasus Mbah Priuk, Pemerintah bernegosiasi dengan ahli waris untuk tetap mempertahankan lokasi makam di antara pembanganunan pelabuhan.

b. Legitimasi, yaitu penyelesaian konflik dengan didasarkan pada penerimaan putusan dalam peradilan. Dalam hal ini, Pemerintah menggunakan kekuasaan hukumnya untuk menentukan hasil akhir dari konflik dengan masyarakat.

Cara Mengendalikan Agresivitas

Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam mengendalikan agresivitas dalam masyarakat, yaitu:

1. Pemberian hukuman.

Pemberian hukuman ini berfungsi untuk memberikan batasan antara perilaku yang diperkenankan dengan yang tidak. Ada empat hal yang penting dalam pemberian hukuman ini, yaitu (1) harus segera (harus mengikuti tindakan agresif secepat mungkin); (2) harus pasti-probabilitas (hukuman akan menyertai agresi haruslah sangat tinggi); (3) harus kuat (cukup kuat untuk dirasa sangat tidak menyenangkan bagi penerimanya); dan (4) harus dipersepsikan oleh penerimanya sebagai justifikasi atau layak diterima.

Oleh karenanya, Pemerintah melalui pihak berwajib harus bertindak langsung sebagai pemberi hukuman, memberikan hukuman yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

2. Katarsis (melampiaskan emosi pada sesuatu yang tidak membahayakan). Secara teori, jika seseorang mengekspresikan kemarahan dan kekerasan mereka dalam cara yang relatif tidak berbahaya, maka akan mengurangi tendensi untuk terlibat tipe agresi berbahaya. Pemerintah memiliki peranan besar dalam aspek ini sebagai pihak yang dapat menyediakan media katarsis.

Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan:

1. Membuka lapangan kerja untuk berbagai golongan masyarakat. Menurut data BPS tahun 2010, Indonesia memiliki 8.592.490 penganggur terbuka. Jumlah yang demikian besar perlu dikelola agar menjadi tenaga produktif dengan ditempatkan di berbagai sektor usaha. Pemerintah hendaknya mampu mengembangkan sektor-sektor bisnis yang tidak hanya menguntungkan sebagian masyarakat saja, tapi lebih mengakomodir potensi dan kompetensi masyarakat setempat.

2. Membantu kegiatan-kegiatan produktif kepemudaan. Misalnya dengan mengembangkan kegiatan karang taruna dan Pramuka. Optimalisasi peran pemuda dalam pembangunan daerahnya merupakan langkah awal untuk membekali penerus bangsa untuk menjadi produktif.

3. Mengembangkan kegiatan ekstra kurikuler dalam sektor pendidikan. Pemerintah dapat mendorong generasi muda untuk berprestasi di bidang olahraga sehingga dapat menyalurkan energi pada kegiatan yang bermanfaat. Pemerintah berperan dalam memberikan beasiswa dan melakukan pembangunan sarana olahraga di sekolah dan tempat umum.

4. Peningkatan pemaparan tayangan non agresi. Ini merupakan kontra dari munculnya tayangan agresi yang dapat menimbulkan tendensi berbuat kekerasan. Pada kenyataannya, banyak orang dengan keterampilan sosial terbatas terlibat dalam kekerasan dengan proporsi besar dalam masyarakat. Oleh karena itu lingkungan —terutama media massa — memiliki tanggung jawab untuk memberikan contoh perilaku positif. Selama ini adegan agresif dapat tayang dengan bebas di televisi nasional, sehingga memberikan contoh buruk bagi masyarakat. Pelaksanaan sensor di Indonesia baru terbatas pada adegan porno dan tampilan mayat.

Referensi:

1. Author, A. N.Harian seputar indonesia, selasa, 12 oktober 2010. Kebakaran ka diduga sabotase.

2. Author, A. N.Teori-teori agresi, http://betterandthebest.wordpress.com/. Diunduh tanggal 18 oktober 2010.

3. Author, A. N.Faktor penyebab anak berperilaku agresif. http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/01/19/faktor-penyebab-anak- berperilaku-agresif/#more-386. Diunduh tanggal 22 Oktober 2010.

4. Author, A. N.Penyebab terjadinya kerusuhan tarakan. Http://kaskus- us.blogspot.com/2010/09/penyebab-terjadinya-kerusuhan-tarakan.html. Diunduh tanggal 21 oktober 2010

5. Author, A. N.Faktor penyebab perilaku agresif. Http://valmband.multiply.com/journal/item/17. Diunduh 21 oktober 2010.

6. Author, A. N.Bimbingan bagi orang tua dalam penerapan pola asuh untuk meningkatkan kematangan sosial anak. http://www.damandiri.or.id/file/muazarhabibiupibab2.pdf. Diunduh tanggal 22 oktober 2010.

7. Author, A. N.Karakteristik Masyarakat www.scribd.com/doc/14065168/Karakteristik-Masyarakat-Pesisir. tanggal 24 Oktober 2010

8. Author, A. N. Penyelesaian Pesisir. Diunduh Konflik. http://id.wikipedia.org/wiki/Penyelesaian_konflik. Diunduh tanggal 25 Oktober 2010.

9. Helmi, Avin Fadilla & Sordardjo. 2009. Beberapa perspektif perilaku agresi. Buletin psikologi tahun vi(2) desember 2009.avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/perspektifagresi_avin.pdf diunduh tanggal 19 oktober 2010.

10.Iromo, Heppi, SPd., Msi. Peluang Dan Tantangan Pengelolahan Sda Kelautan Dan Pesisir Di Tarakan Dan Sekitarnya. http://referensiilmuwan.blogspot.com/2008/09/peluang-dan-tantangan- pengelolahan-sda.html. Diunduh tanggal 24 Oktober 2010.



11.Saefi, Mahmud, S.Pd. 19 januari, 2010. Pengertian perilaku agresif. http://belajarpsikologi.com/pengertian-perilaku-agresif/. Diunduh tanggal 7 oktober 2010


12. Widhy, Nograhany. 29 September 2010. Polri Beberkan Kronologi Bentrokan Warga di Tarakan . http://www.detiknews.com/read/2010/09/29/082833/1450922/10/polri- beberkan-kronologi-bentrokan-warga-di-tarakan. Diunduh tanggal 27 Oktober 2010.

0 notices:

Post a Comment