Cemburu itu membunuh

Selamat Hari Kartini!

Di hari ini kita diingatkan kembali perjuangan Raden Ajeng Kartini yang berupaya membuka kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan. Kartini bukan satu-satunya pahlawan wanita yang ingin mengangkat harkat dan martabat wanita. Dalam kurun waktu antara tahun 1880-an hingga 1965, para wanita perkasa dari penjuru tanah air seakan bergerak bersamaan.

Yang berasal dari tanah Jawa, ada Raden Dewi Sartika (1884-1947) dan Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1752 dan meninggal di tahun 1838. Dari Tanah Rencong kita mengenal Cut Nyak Dien yang hidup dari tahun 1848 hingga 1908 dan Cut Nyak Meutia lahir di tahun 1870 dan meninggal pada tahun 1910. Di Sumatera Barat ada Rasuna Said (1910-1965), Rohana Kudus (1884-1972), Siti Manggopoh (1880-1965) dan Rahmah Elyunusia (1900-1969). 

Jika dibandingkan dengan para srikandi di atas, RA Kartini hidupx sangat singkat, hanya 25 tahun. Padahal beliau adalah seorang priyayi, yang segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Jika dianggap pada masa itu gizi masyarakat sulit dicukupi, semestinya tidak terjadi pada beliau. Lalu kenapa angka harapan hidupnya sangat rendah?

Hipotesis saya adalah masalah kejiwaan. Kartini merupakan anak dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Sebagai keturunan bangsawan, ia dididik dengan tata krama yang ketat. Ia hanya dapat mengenyam pendidikan sekolah ELS, sehingga ia memiliki kemampuan berbahasa Belanda. Pada usia 12 tahun ia mulai dipingit dan dinikahkan dengan bupati Rembang,  K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, pada usia 24. Pada saat itu, Kartini menjadi istri ke-empat sang bupati. Ia merupakan korban poligami. 

Kartini sempat menuliskan sakit hatinya menjadi bukan satu-satunya perempuan dalam rumah tangganya. Menurutnya perempuan itu bukan sekedar "dewi tolol" di sangkar emas. Ternyata, biarpun memiliki status dan berlimpah harta, Kartini tidak bahagia. 

Poligami yang tidak disukai oleh istri merupakan sumber stres dan gangguan bagi kesehatan jiwa perempuan. Ketika menjadi korban poligami, wanita merasa tidak berharga, tidak memiliki hubungan yang setara dengan suaminya. Hal ini mengembangkan relasi kekuasaan yang tidak sehat yang berujung pada ketidakpuasan, bahkan tekanan pada salah satu pihak, dalam hal ini istri.  Padahal, cemburu pada wanita lain yang bukan istri saja sudah menimbulkan gejolak dalam hati perempuan, apalagi kepada yang jelas-jelas memiliki hak yang sama.

Lain halnya ketika istri rela dan iklas lahir batin untuk tidak menjadi ratu dalam kehidupan lelakinya. Perempuan super itu..mungkin ada.

0 notices:

Post a Comment