Hijab: sebuah simbol perjuangan

Selamat hari hijab sedunia!
Sejujurnya, saya baru mengetahui bahwa ada hari peringatan mengenakan hijab yang dicanangkan sejak 1 Februari 2013. Adalah Nazma Khan, seorang muslimah di New York yang mempromosikan hari ini untuk mendorong toleransi dan pemahaman mengenai Islam dan perempuan muslim. 

Hijab adalah cara muslimah untuk menutup auratnya sesuai dengan tuntunan Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 59 yang isinya diterjemahkan sebagai berikut:

"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Begitu juga yang disebutkan dalam Surat An Nuur ayat 31 yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…"

Memakai hijab di Indonesia mungkin tidak sesulit di negara-negara Barat, karena mayoritas penduduknya adalah muslim. Bahkan menutup kepala sudah membaur dengan adat dan kebiasaan lokal sehingga menjadi bagian dari etika sehari-hari, terutama di daerah-daerah yang kuat penegakan syariat Islamnya seperti Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Nangroe Aceh Darussalam. Di Sumatera Barat kita jarang melihat wanita cukup umur yang tidak menutup kepala, apalagi jika ia berprofesi sebagai guru.

Akan tetapi, menurut saya menggenakan hijab secara psikologis lebih dari upaya mematuhi perintah agama atau menjadi bagian dari komunitas. Indonesia pernah mengalami masa-masa kelam ketika hijab adalah barang aneh. Perempuan yang menutup kepalanya diintimidasi oleh orang-orang terdekatnya yang takut ia tidak mendapat jodoh atau pekerjaan. Murid-murid perempuan dipaksa memperlihatkan telinganya ketika berfoto untuk ijazah dengan ancaman jika tidak mau maka tidak akan diluluskan. Indonesia yang katanya Hofstede termasuk negara dengan skor individualisme rendah (14) menunjukkan tingginya keinginan untuk menjadi seragam. Orang-orang yang mengenakan hijab pada 20 tahun lalu dianggap sebagai anomali dan pengganggu keseragaman masyarakat kita.

Aneh, memang, kita terdiri dari berbagai ras dan suku, tapi pemerintah selalu mendorong untuk memandang diri menjadi satu. Di satu sisi, ini menyebabkan masyarakat tidak siap dengan perbedaan, sehingga jika menemukan suatu praktek yang tidak lazim, kita gagap dalam menyikapinya. Masyarakat kita tidak dibiasakan untuk berkomunikasi untuk menemukan solusi perbedaan, sehingga akhirnya kekerasanlah yang bermain. Baik secara fisik maupun psikis. 

Jadi, jika sekarang perempuan bebas berhijab dan diterima di berbagai bidang kehidupan merupakan jerih payah mereka yang sudah menampung cacian, ejekan, dan doa-doa buruk pendahulu kita. Akan tetapi, perjuangan tersebut belum berhenti. Tongkat estafet harus dilanjutkan generasi sekarang untuk menghadapi tantangan anti hijab sekarang dan yang datang, yaitu bukan lagi dari orang-orang terdekat, tapi dari dunia barat berupa prejudice internasional dan tekanan asimilasi budaya pop. Keduanya dapat menimbulkan keraguan di hati perempuan muslim. Hari ini mengenakan hijab bukan masalah bisa atau tidak, tapi persoalan MAU atau tidak.


0 notices:

Post a Comment