oleh
Elga Andina
Peneliti bidang Psikologi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI
Dipublikasikan : Juni 2012
Abstrak
Kualitas fisik sangat mempengaruhi aspek sosial dan psikologis suatu masyarakat. Pengaturan pelindungan hutan saat ini masih belum mampu memecahkan masalah- masalah alih fungsi lahan, eksploitasi, dan lemahnya kontrol Pemerintah terhadap penyelewengan. Oleh karena itu DPR RI mengusulkan Rancangan Undang Undang Pemberantasan Perusakan Hutan sebagai revisi Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Yang perlu ditekankan dalam pembahasan peraturan ini adalah fokus terhadap ide luhur pemeliharaan kesejahteraan rakyat, yang belum terlaksana oleh aturan pendahulunya. Oleh sebab itu, penyusunan undang undang ini harus mempertimbangkan dampak psikologis yang diakibatkannya.
PENDAHULUAN
Setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Tahun ini Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan tema “Green Economy: Does it include you?” Disesuaikan dengan konteks Indonesia, maka tema ini menjadi Ekonomi Hijau: Ubah Perilaku, Tingkatkan Kualitas Lingkungan. Makna mendasar dari tema ini adalah urgensi seluruh umat manusia, baik secara individu, kelompok maupun negara, untuk mengubah pola konsumsi dan produksi atau gaya hidup menuju perubahan perilaku yang berkelanjutan. Tema ini juga dimaksudkan untuk mengangkat momentum United Nations Conference on Sustainable Development atau dikenal Rio+20 yang akan diselenggarakan pada pertengahan bulan Juni 2012.
Meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan merupakan bentuk aktif dari kecemasan akan keberlangsungan hidup umat manusia. Lingkungan merupakan sumber daya alam hayati yang penting untuk menjaga kualitas hidup. Namun, kualitas dan kuantitas sumber daya ini semakin lama semakin menurun karena berbagai alasan, termasuk bencana alam dan ulah manusia. Oleh karena itu pengendalian kerusakannya menjadi isu signikan yang harus diperhatikan negara.
Dalam konteks yang lebih luas, sumber daya alam hayati meliputi seluruh kawasan vegetatif, termasuk hutan. Kementerian Kehutanan dalam Statistik Kehutanan tahun 2008 menyebutkan bahwa luas daratan kawasan hutan di Indonesia mencapai 133.694.685,18 ha dari 192.257.00 ha luas keseluruhan daratan di Indonesia. Ini berarti bahwa hampir 70% tanah air kita merupakan hutan.
Urgensi pentingnya hutan bagi kehidupan manusia tidak dapat dielakkan. Sebagai produsen oksigen, hutan menjadi paru-paru dunia. Penyerapan CO2 oleh tumbuhanmemberiandildalammengurangi pencemar CO2 di udara. Jaringan tumbuhan menyimpan CO2 untuk kemudian diubah menjadi oksigen. Sebatang pohon selama hidupnya diprediksi dapat menyerap 7.500 gram karbon. Jika dalam satu hari sebatang pohon mampu menyerap 20 hingga 36 gram CO2 per hari, maka suatu kawasan dengan 1000 pohon dapat menyerap 13,14 ton per tahun. Oleh karena itu, Indonesia perlu merasa bersyukur dengan banyaknya hamparan hutan dari Sabang sampai Merauke.
Namun, keuntungan ini semakin lama terkikis seiring meningkatnya kerusakan hutan. Pengeksploitasian lahan memang bukan hal baru dan sudah berlangsung sejak negeri ini masih muda. Pada tahun 1997 World Resource Institute menyimpulkan penyusutan hutan asli Indonesia mencapai 72%. Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat dibanding tahun 1980. Bahkan, menurut data Badan Planologi Departemen Kehutanan yang dirilis di tahun 2003,
Eksploitasi Sumber Masalah
Minimal ada tiga penyebab menyusutnya cakupan hutan kita. Pertama, alih fungsi hutan yang tidak tepat guna. Deforestrasi besar-besaran telah dimulai sejak jaman Orde Baru yang membuka kesempatan bagi pengusaha untuk mengubah fungsi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan bentuk usaha lainnya tanpa batas.
Kedua, eksploitasi tanpa tanggung jawab. Penebangan hutan yang tidak tepat, disertai lemahnya usaha peremajaan hutan menyebabkan hutan terus tergerus. Hutan terus menyusut sementara aktivitas penanaman kembali tidak seiring dengan penggundulan hutan.
Ketiga dan yang paling penting adalah tumpulnya peraturan yang terkait masalah kehutanan. Pengaturan pengelolaan hutan saat ini dibatasi oleh PP Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut- II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Namun, tidak satupun peraturan yang sanggup membatasi pelanggaran di sektor kehutanan, baik dalam hal konsep peraturan, maupun aplikasinya di lapangan. Pengamat menemukan bahwa kejahatan hutan terorganisir terus berlangsung dengan memberikan keuntungan sepihak pada....
[FULL ARTICLE]
0 notices:
Post a Comment