Menuju pembahasan RUU Kesehatan Jiwa

Pada bulan November 2012, naskah akademik dan draf Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa resmi diserahkan Biro Perancang Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI kepada Komisi IX untuk dibahas dalam rapat panja RUU Keswa. Penyusunan sendiri berlangsung hampir satu tahun dengan melibatkan berbagai pakar dari bidang kedokteran jiwa, rumah sakit, penderita gangguan jiwa dan keluarganya, pemerintah daerah, psikolog, dan kementerian kesehatan.

diambil dari website dpr

Tidak mudah untuk meramu semua usulan dalam sebuah rancangan undang-undang karena setiap pihak memiliki masalah berbeda yang ingin dibela dalam produk hukum ini. Namun, akhirnya diakomodir jua dalam 11 Bab dan 91 pasal. Pengaturan tentang Kesehatan Jiwa dulu dibuat dalam bentuk Undang Undang no 3 Tahun 1966. Undang Undang yang terdiri dari 14 pasal ini secara ringkas menekankan pentingnya kesehatan jiwa dan segala aktivitas yang terkait sebagai bentuk tanggung jawab negara. Namun, di tahun 2009, Undang Undang no. 3 Tahun 1966 ini digugurkan dengan adanya Undang Undang no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengaturan mengenai kesehatan jiwa tercantum dalam Undang Undang no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, mulai dari Pasal 144 hingga 151 dalam Bab IX. Akan tetapi, data di lapangan menunjukkan bahwa perhatian Pemerintah terhadap kesehatan jiwa sangat kecil. Hal ini terbukti dengan porsi anggaran minimalis yang diberikan pada pengelolaan kesehatan jiwa. Kegiatan pelayanan kesehatan jiwa tidak menjadi prioritas di puskesmas, unit terdepan pelayanan kesehatan kita. Kesehatan jiwa di dinas kesehatan daerah dimasukkan dalam unit kesehatan lain-lain bersama dengan kesehatan haji dan kesehatan gigi. Rumah Sakit Khusus Kesehatan Jiwa pun tidak selalu ada di setiap provinsi. Belum lagi jumlah psikiater dan psikolog klinis yang tidak sesuai dengan ratio penderita. Padahal, terjadi peningkatan jumlah penderita gangguan kejiwaan dari tahun ke tahun.

Kehadiran RUU Keswa di Komisi IX sendiri tidak terlepas dari pro dan kontra. Perbedaan sudut pandang di parlemen mewakili berbagai kepentingan dan elemen masyarakat. Perdebatan panjang mengenai perlu atau tidaknya pengaturan ini mewarnai rapat-rapat kerja di komisi.


Dukungan terhadap RUU Keswa

Sesuai dengan tugasnya sebagai pelindung seluruh rakyat Indonesia, Pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan setiap warganya mendapat perlakuan yang layak, bahkan bagi penyandang gangguan kejiwaan. Namun, pada kenyataannya, penderita gangguan jiwa seringkali didiskreditkan. Dalam hal asuransi kesehatan contohnya, perawatan kesehatan jiwa tidak termasuk dalam jaminan. Selain itu, para penderita banyak yang dibuang di jalanan dan meskipun ditampung di panti seringkali mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Para pendukung RUU Keswa mengharapkan adanya aturan untuk memberikan payung hukum pengelolaan masalah kejiwaan di Indonesia.

Beberapa poin yang perlu dicatat mengenai kualitas hidup penderita gangguan jiwa di Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, rendahnya dukungan dana pemerintah terhadap penderita gangguan jiwa, padahal biaya pelayanan kesehatan bagi pasien sangat besar karena jangka waktu pengobatan yang lama, bahkan seumur hidup. Kedua, adanya pengenyampingan eksistensi penderita. Kita lihat banyak penderita dibiarkan berkeliaran di jalanan, atau dipasung di rumah dengan kondisi mengenaskan. Ketiga, penderita gangguan kejiwaan dikebiri hak-hak sosialnya, seperti hak bekerja, hak memperoleh pendidikan dan hak sosial lainnya.

Penolakan RUU Keswa

Sebaliknya, RUU Keswa juga menghadapi penolakan dari berbagai kalangan, bahkan dari anggota dewan sendiri. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah:

Pertama, dalam undang-undang tersebut DPR mengamanatkan Pemerintah untuk membuat PP yang mengatur aspek teknis dalam tahap rehabilitasi. Namun, setelah 3 tahun Undang-Undang disahkan, PP yang diharapkan belum juga terwujud. Disini anggota dewan menganggap lebih perlu untuk mendorong Pemerintah untuk melaksanakan Undang-undang no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ketimbang membuat undang-undang baru yang kemungkinan akan berakhir sama dengan undang-undang induknya ini.

Kedua, anggota menilai bahwa RUU Keswa tidak jauh berbeda dengan rumusan 8 pasal yang terdapat dalam Undang Undang Kesehatan. Hal ini akan menjadikan RUU Keswa terkesan mubazir karena semuanya sudah terangkum dalam peraturan pendahulunya.

Ketiga, banyak anggota yang tidak memahami urgensi masalah kejiwaan terhadap kualitas hidup masyarakat. Masih ada yang beranggapan bahwa kesehatan itu berarti sehat fisik, tanpa perlu memastikan kondisi mentalnya.



Keswa sulit dipahami

RUU Keswa memang bukan objek yang mudah dipahami, mungkin kecuali orang-orang yang bergaul dengan penderita. Masalah mental tidak mudah dijelaskan dengan beberapa kalimat atau pasal. Akan lebih mudah dimengerti bahwa gangguan kejiwaan selalu berdampak buruk ketika manusia tidak mampu mengendalikannya.

Men sana in corpore sano. didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Kalimat ini juga perlu dimaknai sebaliknya, didalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang sehat.

Banyak penelitian yang menunjukkan penderita kanker yang berpikiran positif lebih kuat melawan penyakitnya dibandingkan yang tidak. Sebuah penelitian di Amerika menekankan kedekatan dan pertemanan sebagai unsur penting untuk membantu penderita flu lebih cepat pulih ketimbang mereka yang mengisolasi diri dari pergaulan ketika sakit.



Pengaturan Keswa perlu

Terlepas dari semua pro kontra dan urgensi politiknya, pengaturan keswa dibutuhkan untuk melindungi dan membantu penderita berserta keluarganya, baik dalam hal pelayanan kesehatan maupun dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

Undang-undang ini mulai dibahas pada masa sidang III 2012/2013. Kita harapkan apapun jadinya peraturan ini, ujungnya selalu berpihak pada rakyat kecil.

0 notices:

Post a Comment