Millennium Development Goals (MDGs) and Eradication of Poverty

Lokasi: Operation Room-Gedung Nusantara DPR
Hari/tanggal: Jum'at  25 November 2011


Tinggal 4 tahun lagi menjelang tahun 2015 yang menjadi garis perjanjian negara pendukung MDGs (Millennium Development Goals). Menghadapi deadline yang semakin membayangi, Indonesia bergegas untuk mencapai kriteria-kriteria yang telah disepakati.

Sebuah kesatuan visi menjadi teruji ketika program MDGs di Indonesia diboncengkan pada program kementrian yang tidak selalu berperspektif kemajuan. Seperti yang telah kita alami bersama, pelaksanaan program pemerintah seringkali minim dan hanya bersifat infrastruktural. Tanpa adanya insiatif masyarakat mustahil terjadi pembaharuan.

Di tataran legislatif sendiri, DPR RI terus berusaha menjadi pendorong perubahan dengan provokasi ke berbagai unsur pemerintah dan pelaksana di lapangan. Namun, kadang kebijakan ini sendiri belum tentu efektif dan terlaksana tepat di daerah. DPR senantiasa berkonsultasi dengan UNESCO sebagai salah satu motor penggerak percepatan MDGs di dunia. Pada tanggal 25 November 2011 yang lalu, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Sekertariat Jenderal DPR RI pun mengundang Director General UNESCO, Ms Irina Bokova untuk menghadiri Special Session tentang MDGs & Eradication of Poverty.

Bersama dengan sang direktur, juru bicara dan ketua DPR, Marzuki Ali, dan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Muhammad Nuh, ikut memberikan kata sambutan.

Prof. Muhammad Nuh menegaskan bahwa kemiskinan perlu dilihat dari 3 persepktif, yaitu Pertama, persepektif kekayaan. Kemiskinan tidak sama dengan kebudayaan yang mana semakin banyak maka semakin bervariasi. Namun, kemiskinan tidak boleh beranak pinak. Kedua, dari sudut pandang agama jelas tidak ada agama di dunia yang menganjurkan kemiskinan sebagai gaya hidup. Ketiga, perspektif ekonomi telah mengutuk kemiskinan sebagai penyebab melambatnya pertumbuhan manusia selain karena kemiskinan telah menjadikan seseorang berada pada status terbawah dalam kelas ekonomi.

Untuk itu dibutuhkan perbaikan kehidupan. Bagi Nuh, hal ini berarti memberdayakan 6 pilar, yaitu human capital, media, infrastruktur, sumber daya alam, sumber daya pengetahuan, dan institusi publik.  Dengan menggerakkan ke enam pilar diatas, maka kemiskinan semestinya dapat diberantas.

Senada dengan paparan diatas, DR. HS Dillon (Special Envoy for Poverty Alleviation, President Office, Indoensia Representatives of the office of the Special Envoy on MDGs) yang ditunjuk sebagai panelis mengemukakan mazhab Dillon yang menurutnya penting untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Hanya ada 2 hal yang dianjutkannya untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan, yaitu:

1. Pendidikan

Manusia berpendidikan memiliki kesempatan untuk memilih dan meningkatkan taraf hidupnya.

2. Kepemilikan lahan

Berikan masyarakat akses terhadap kepemilikan lahan agar mereka dapat mengusahakan kehidupannya tanpa terkekang menjadi buruh seumur hidup.

Ditambahkan pula oleh Mr. El-Mostofa Benlamlih (Resident Coordinator, United Nations in Indonesia), perlunya kebijakan-kebijakan yang berbasis lokal. Artinya kebijakan yang ditelurkan semestinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bukankah banyak program pemerintah yang meniru gaya bangsa lain, padahal belum tentu cocok dengan kondisi di lapangan.

Mengembangkan kemampuan masyarakat untuk berdikari tentu tidak dapat dipisahkan dari tenaga pengajar. Mr. Marzuki Ali menekankan pentingnya pendidik untuk digembleng agar menjadi profesional. Ia juga meyakini bahwa media memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Terakhir, kerjasama yang sungguh-sungguh dari semua pihak merupakan bumbu terbaik untuk menyelesaikan dilema kemiskinan di Indonesia.

Kutipan terbaik saya ambil dari Ms. Irina Bokova:

Poverty is not only about development and growth, but it's also about human rights. Poverty is an obstacle. Development can not be cut from dignity. Poverty has many indicators: gender equality, education, social and strategic politics.

Beliau juga setuju bahwa pendidikan dengan segala harapan yang dibawanya merupakan obat bagi perkembangan. Pendidikan si miskin berawal dari kesetaraan. Hal ini berarti tidak ada lagi 30 persen anak perempuan yang tidak mendapat pendidikan dasar, sebagaimana yang dilaporkan oleh ibu Diah S Saminarsih (spoke person for Special Envoy for MDGs, Ibu NIlam Muluk). Pendidikan untuk semua berarti memberikan kesempatan bagi semua anak, baik laki-laki maupun perempuan untuk mendapat informasi.
Education represents opportunity.

0 notices:

Post a Comment