Must not forget who we are

“But we must not forget who we are”

~Emperor Meiji in The Last Samurai

SMPTN telah berakhir menyisakan nama-nama calon mahasiswa baru yang akan menempuh satu tahapan lain dalam kehidupannya: masa kuliah. Anak-anak dari berbagai penjuru tanah air berdatangan menuju pusat-pusat pendidikan di kota besar. Pendidikan Tinggi memang terbatas di kota saja, sehingga dalam sekejap semut-semut itu datang memenuhi jalanan kota yang sudah padat.

Adalah suatu yang menyenangkan ketika seseorang meninggalkan kampung halamannya menuju kota besar, apalagi jika kota tersebut adalah sang ibukota sendiri. Rasa tertarik, deg-degan dan cemas bercampur aduk menuntut diri tak sabar merasakan kehebatannya.

Saya sendiri berasal dari dari kota kecil bernama Padang. 10 tahun yang lalu ketika saya meninggalkan ibukota Propinsi Sumatera Barat tersebut, hanya rasa kagum yang dapat saya ucapkan ketika menginjakkan kaki ke Surabaya, tempat saya akan menimba ilmu selama 4 tahun. Bangunan megah, gedung-gedung bertingkat mencakar langit, jalan tol, Mal yang menawarkan berbagai kemudahan berbelanja serta akses pendidikan yang luar biasa. Begitulah kehebatan kota besar.

Seperti kata pepatah, “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung,” seorang anak kampung seperti saya harus mempelajari adat istiadat setempat. Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia. Letaknya pun jauh di ujung pulau Jawa memberikan jeda kebudayaan yang butuh waktu untuk dipahami anak desa seperti saya. Untuk memudahkan adaptasi, saya mulai mengikuti berbagai kegiatan dan bergaul dengan anak-anak lain yang berasal dari Surabaya bahkan Jakarta.

Orang yang tidak memiliki pengetahuan akan mudah sekali terbawa arus. Kehidupan kota besar—seperti yang sering kita lihat di TV—benar-benar penuh hedonisme. Pergaulan yang kasual dan rendahnya rasa malu tampak jelas dari perilaku banyak orang disini. Budaya yang sangat kental terpancar dalam aura kota besar adalah:

1. Cuek. Kadang anda tidak perlu tahu siapa nama tetangga di sebelah rumah. Wong, orangnya jarang keliatan.

2. Konsumerisme tingkat tinggi. Dengan tingginya tingkat ketersediaan barang, masyarakat kota besar cenderung mudah membelanjakan uangnya, meskipun hanya sekedar untuk berkompetisi dengan rekan kerjanya.

3. Kurang rasa malu. Adab pergaulan pria wanita di kota besar banyak berkiblat pada Barat, dimana perilaku yang tabu dilakukan sekarang terasa lumrah dengan bersenjatakan, “Ah, ini kan jaman modern” banyak anak muda terjerumus pergaulan bebas, pacaran yang berlebihan bahkan sampai terkena penyakit berbahaya.

Namun, kota besar bukan saja tempat yang penuh maksiat, jika kita pandai mencari peluang maka kita dapat memperoleh manfaat positifnya secara optimal. Ada beberapa hal yang patut digunakan ketika anda kuliah di kota besar:

1. Fasilitas pendukung pendidikan sangat banyak. Misalnya perpustakaan yang memiliki jutaan buku. Perpustakaan juga dikelola secara profesional untuk memberikan manfaat maksimal pada pembaca. Misalnya di UI, perpustakaan besar tetap buka di hari Minggu sehingga para mahasiswa dapat menghabiskan waktu berkualitas disana.

2. Jaringan telekomunikasi yang mutakhir. Sekarang ini hampir semua kampus difasilitasi jaringan internet tanpa kabel. Selain itu, ruang publik seperti mall, bandara dan rumah makan(restoran) juga kerap memberikan fasilitas jaringan hotspot. Dengan begitu, mahasiswa dapat mengakses internet nyaris dimana saja.

3. Terdapat gedung-gedung pemerintah. Biasanya saya menggunakan jaringan ke gedung pemerintah untuk mendapatkan dana dan informasi terkini mengenai berbagai isu kepemerintahan.

4. Banyak orang-orang berkualitas. Kalau kuliah di ibukota, kita memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengundang profesional kenamaan, misalnya menteri Pendidikan, Trainer Mario Teguh dan Ari Ginanjar, untuk mengisi kuliah umum dan seminar.

Yang paling saya takutkan ketika seorang anak kampung berada di kota besar adalah terjadinya cultural shock. Seperti yang sudah kita bahas diatas, ada banyak ‘keajaiban’ yang dimiliki kota besar yang tidak akan habis meskipun setiap hari dijelajahi. Banyak budaya hedonis yang tidak sesuai dengan kearifan leluhur kita, misalnya budaya ke diskotik, mabuk-mabukan, sampai pemilihan ideologi agnostik.

Mungkin saja, jika anda mengikuti budaya negatif diatas anda akan berada dalam sebuah kelompok. Tapi, saya yakin, mereka bukan teman sejati. Karena teman sejati—sebagaimana saya kutip dari sebuah iklan yang sering terpampang di jalan layang—tidak akan mencelakakan anda.

Ibu saya mengunjungi saya minggu lalu dan mulai mengeluhkan mahasiswa asal padang yang sudah melupakan adat istiadatnya setelah tinggal di Jakarta. Ia melihat bahwa mereka tidak memiliki sopan santun lagi, tidak berinisiatif menyapa yang lebih tua dan tidak mampu menghormati tamu. Itu bukan budaya kita. Adat istiadat kita jauh lebih luhur dibanding sekedar gaya cuek yang dipropagandakan ibu kota.

Budaya adalah atribut yang melekat dalam diri anda dan diperlihatkan dalam perilaku. Perilaku positif membuat anda disukai orang dan dimudahkan urusannya. Perilaku negatif mungkin akan membuat anda senang sesaat namun tidak menggaransi masa depan bermartabat anda.

Benarlah apa yang dikatakan Kaisar Meiji dalam film The Last Samurai, meskipun ia sangat mendukung modernisasi, ia mengingatkan bahwa “kita tidak boleh lupa siapa diri kita,” Oleh karena itu dimanapun anda berada, jangan lupa bahwa anda adalah hamba Allah yang hanya berjalan dalam hukumNya.

0 notices:

Post a Comment