Kemaren malam, saya menonton From Paris with Love dengan seorang teman. Sebelum sepakat bertemu, teman saya meminta ijin untuk membawa temannya dalam acara santai kami. Saya kurang menyukai orang itu karena teman sering mengeluhkan perilakunya yang kurang toleran. Ia acap pulang malam dan mengganggu teman untuk memaksanya membangunkan penjaga kos agar diperbolehkan masuk. Teman juga menceritakan bagaimana orang itu pergi bertamasya ke luar kota tanpa sepengetahuan orang tuanya. Tanpa sadar saya membentuk imaji negatif terhadapnya. Saya pikir, seorang wanita yang gemar pulang malam dan berdusta pada orang tuanya tidak mungkin orang baik-baik.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari diri orang tersebut. Ketika bertemu dengan saya, ia tampak santun dan menjaga cara berbicaranya. Ia pun tidak sok. Ini tipe yang saya suka. Ia juga merasa tidak masalah ketika saya mengabaikannya untuk berbicara dengan teman saya.
Ah, saya merasa bersalah telah bersikap kurang peduli. Padahal tidak satupun perilakunya telah menyakiti saya. Saya keterlaluan telah sok merasakan kekesalan teman, padahal tidak ada satupun bagian diri saya ikut dirugikan.
Dalam kehidupan kantorpun dapat terjadi hal seperti ini. Setelah sebulan saya masuk kerja, para senior mulai membuka aib masing-masing. Konflik-konflik kantor pun sedikit demi sedikit terkuak dan memberikan gambaran kacaunya kehidupan disini. Senior A berkata, “ini bukan menjelek-jelekkan ya, tapi si B itu..&%^&$&^*()&$%#%”. Senior C berkata, “Si A dan Si B tidak cocok, karena…jadi kalau terjadi sesuatu jangan ikut2”
Apakah anda juga merasakan hal yang sama? Ini tidak sehat karena data dari mereka harus kita proses secara objektif. Lebih jauh lagi, kita harus mampu mengembangkan pola pikir yang lebih bersahabat untuk menjamin kenyamanan kerja. Jika bukan kita, siapa lagi? Allah tidak akan mengubah suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mau berubah. Untuk itu, saya pikir lebih baik kita:
1. Mengumpulkan sebanyak-banyaknya data.
Data berbentuk rekaman kejadian dari hasil observasi, percakapan dan tulisan yang didapat lewat objek ataupun dari pihak lain diluar subjek. Hindari pengumpulan data dari satu sumber saja untuk menjamin keberagaman. Ini penting agar kita memperoleh gambaran yang komprehensif tentang kondisi sebenarnya.
2. Menganalisa data secara objektif
Lepaskan diri dari Halo effect maupun ketertarikan personal. Hal ini dapat menjadi bias dalam penganalisaan data. Hati manusia ini memang mudah tertarik pada hal-hal kecil. Misalnya saja, kita gampang menganggap baik orang yang meminjamkan payung ketika kita lupa membawanya. Atau orang yang mengajak kita makan siang dan membayari bon tersebut. Atau orang yang mengajak kita ke pengajian. Atau orang yang selalu menyapa kita setiap pagi. Semua itu adalah perilaku yang perlu diuji sebelum kita dapat menentukan apakah menerima atau menolak hipotesis.
3. Menemukan pola komunikasi yang efektif untuk setiap orang. Ingat, tiap-tiap kita merupakan individu yang berbeda. Individual differences ini menuntut penanganan yang berbeda pula. Misalnya jika berhadapan dengan orang yang dominan[1], maka sebaiknya gunakan kalimat langsung bukan sindiran serta faktual, karena mereka cenderung tidak sabaran dan tidak mudah percaya. Sedangkan jika berhadapan dengan orang dengan kepribadian Influence, pusatkan perhatian anda padanya dan dengarnya kisahnya.
Terburu-buru dalam mengenali seseorang dapat berujung pada kurang harmonisnya interaksi. Orang yang kita anggap baik bisa jadi menyimpan pedang dibalik punggungnya. Sedangkan orang yang menurut kita kurang bersahabat bisa jadi hanya kurang mampu mengungkapkan isi hatinya.
Dalam bekerja, hal ini perlu diperhatikan. Kemampuan memperlihatkan perilaku yang tepat merupakan keahlian yang tidak bisa dimiliki semua orang. Itu adalah keterampilan mengontrol diri. Namun, bukan berarti anda tidak menjadi diri sendiri. Bukankah itu sudah menjadi budaya dalam peradaban kita? Sama saja dengan sikap sopan yang harus kita perlihatkan pada orang yang lebih tua dan ramah pada anak-anak. Apakah dengan begitu anda menjadi orang lain? Tidak kan.
Pengontrolan emosi mungkin terkesan seperti robot. Tapi, hanya orang dewasa yang mampu melakukannya. Jadi, mari kita koreksi diri kita apakah kita sudah cukup matang dalam bergaul?
[1] Tipe kepribadian dari alat ukur kepribadian DISC yang didasari teori William Marstone. Dalam instrumen ini, kepribadian di bagi atas 4 kelompok: Dominan, Influence, Stable dan Compliance. Dominan berciri suka mengarahkan, tegas, mudah memutuskan, menyukai fakta, tidak mudah percaya dan cenderung memaksakan kehendak. Influence merupakan tipe kepribadian orang yang suka bersosialisasi, mudah berbicara, senang membaur, mempengaruhi dan ramah. Ciri tipe kepribadian Stable adalah orang yang dapat diandalkan, teguh pendirian, stabil, mendengarkan orang lain dengan efektif dan penuh toleransi. Sedangkan tipe kepribadian Compliance diperlihatkan orang yang patuh, berhati-hati dalam bertindak, mengutamakan ketepatan, sistematik dan perfeksionis.
Aku ini orang baik, tapi bukan orang baik-baik
~Meteor Garden
Sebenarnya tidak ada yang salah dari diri orang tersebut. Ketika bertemu dengan saya, ia tampak santun dan menjaga cara berbicaranya. Ia pun tidak sok. Ini tipe yang saya suka. Ia juga merasa tidak masalah ketika saya mengabaikannya untuk berbicara dengan teman saya.
Ah, saya merasa bersalah telah bersikap kurang peduli. Padahal tidak satupun perilakunya telah menyakiti saya. Saya keterlaluan telah sok merasakan kekesalan teman, padahal tidak ada satupun bagian diri saya ikut dirugikan.
Dalam kehidupan kantorpun dapat terjadi hal seperti ini. Setelah sebulan saya masuk kerja, para senior mulai membuka aib masing-masing. Konflik-konflik kantor pun sedikit demi sedikit terkuak dan memberikan gambaran kacaunya kehidupan disini. Senior A berkata, “ini bukan menjelek-jelekkan ya, tapi si B itu..&%^&$&^*()&$%#%”. Senior C berkata, “Si A dan Si B tidak cocok, karena…jadi kalau terjadi sesuatu jangan ikut2”
Apakah anda juga merasakan hal yang sama? Ini tidak sehat karena data dari mereka harus kita proses secara objektif. Lebih jauh lagi, kita harus mampu mengembangkan pola pikir yang lebih bersahabat untuk menjamin kenyamanan kerja. Jika bukan kita, siapa lagi? Allah tidak akan mengubah suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mau berubah. Untuk itu, saya pikir lebih baik kita:
1. Mengumpulkan sebanyak-banyaknya data.
Data berbentuk rekaman kejadian dari hasil observasi, percakapan dan tulisan yang didapat lewat objek ataupun dari pihak lain diluar subjek. Hindari pengumpulan data dari satu sumber saja untuk menjamin keberagaman. Ini penting agar kita memperoleh gambaran yang komprehensif tentang kondisi sebenarnya.
2. Menganalisa data secara objektif
Lepaskan diri dari Halo effect maupun ketertarikan personal. Hal ini dapat menjadi bias dalam penganalisaan data. Hati manusia ini memang mudah tertarik pada hal-hal kecil. Misalnya saja, kita gampang menganggap baik orang yang meminjamkan payung ketika kita lupa membawanya. Atau orang yang mengajak kita makan siang dan membayari bon tersebut. Atau orang yang mengajak kita ke pengajian. Atau orang yang selalu menyapa kita setiap pagi. Semua itu adalah perilaku yang perlu diuji sebelum kita dapat menentukan apakah menerima atau menolak hipotesis.
3. Menemukan pola komunikasi yang efektif untuk setiap orang. Ingat, tiap-tiap kita merupakan individu yang berbeda. Individual differences ini menuntut penanganan yang berbeda pula. Misalnya jika berhadapan dengan orang yang dominan[1], maka sebaiknya gunakan kalimat langsung bukan sindiran serta faktual, karena mereka cenderung tidak sabaran dan tidak mudah percaya. Sedangkan jika berhadapan dengan orang dengan kepribadian Influence, pusatkan perhatian anda padanya dan dengarnya kisahnya.
Terburu-buru dalam mengenali seseorang dapat berujung pada kurang harmonisnya interaksi. Orang yang kita anggap baik bisa jadi menyimpan pedang dibalik punggungnya. Sedangkan orang yang menurut kita kurang bersahabat bisa jadi hanya kurang mampu mengungkapkan isi hatinya.
Dalam bekerja, hal ini perlu diperhatikan. Kemampuan memperlihatkan perilaku yang tepat merupakan keahlian yang tidak bisa dimiliki semua orang. Itu adalah keterampilan mengontrol diri. Namun, bukan berarti anda tidak menjadi diri sendiri. Bukankah itu sudah menjadi budaya dalam peradaban kita? Sama saja dengan sikap sopan yang harus kita perlihatkan pada orang yang lebih tua dan ramah pada anak-anak. Apakah dengan begitu anda menjadi orang lain? Tidak kan.
Pengontrolan emosi mungkin terkesan seperti robot. Tapi, hanya orang dewasa yang mampu melakukannya. Jadi, mari kita koreksi diri kita apakah kita sudah cukup matang dalam bergaul?
[1] Tipe kepribadian dari alat ukur kepribadian DISC yang didasari teori William Marstone. Dalam instrumen ini, kepribadian di bagi atas 4 kelompok: Dominan, Influence, Stable dan Compliance. Dominan berciri suka mengarahkan, tegas, mudah memutuskan, menyukai fakta, tidak mudah percaya dan cenderung memaksakan kehendak. Influence merupakan tipe kepribadian orang yang suka bersosialisasi, mudah berbicara, senang membaur, mempengaruhi dan ramah. Ciri tipe kepribadian Stable adalah orang yang dapat diandalkan, teguh pendirian, stabil, mendengarkan orang lain dengan efektif dan penuh toleransi. Sedangkan tipe kepribadian Compliance diperlihatkan orang yang patuh, berhati-hati dalam bertindak, mengutamakan ketepatan, sistematik dan perfeksionis.
0 notices:
Post a Comment