Tantangan menghitung KHL dan Upah Buruh

Sebanyak 37 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia yang bekerja adalah buruh. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Agustus 2014 jumlah penduduk di atas 15 tahun yang berstatus buruh/karyawan/pegawai mencapai 42,382,148 jiwa. BPS juga menyampaikan bahwa 46,5 juta orang (40,62 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 68,1 juta orang (59,38 persen) bekerja pada kegiatan informal (BPS, Januari 2015:49). Meskipun jumlah angkatan kerja cukup besar, namun hasil kajian LIPI pada Februari 2012 menunjukkan bahwa 43,67 pekerja Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. 

Meningkatnya harga bahan kebutuhan pokok disertai dengan inflasi yang terus menanjak membuat nilai uang menjadi semakin rendah. Oleh karena itu, daya beli buruh dirasa semakin menurun. Oleh karena itu, setiap tahun buruh berunjuk rasa menuntut kenaikan upah.

Pemerintah menentukan Upah Minimum buruh berdasarkan Komponen Hidup Layak (KHL). KHL sendiri terus berkembang mengikuti pola hidup masyarakat. Jika di tahun 2013 hanya ada 60 KHL, pada tahun 2014 buruh menuntut diperhitungkannya 84 KHL. Selama ini, KHL diplot untuk kehidupan pekerja lajang, oleh karena itu pekerja yang sudah berkeluarga merasa kurang Di sisi lain, usulan komponen baru masih perlu dikaji, karena buruh juga menuntut komponen yang tidak vital bagi keberlangsungan hidup seorang pekerja, misalnya biaya pijat. Hal ini menyebabkan perlu dipertanyakan apa kriteria dari sebuah komponen untuk dapat dimasukkan dalam KHL. 

Untuk mengulas lebih jauh tentang KHL dan upah buruh di Indonesia, Bidang Kesejahteraan Sosial P3DI mengundang Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja - Kementerian Ketenagakerjaan dalam diskusi internal besok. Peneliti P3DI dan Legal Drafter yang berminat dipersilakan menghadiri acara ini.

0 notices:

Post a Comment