Perlukah MOS dilanjutkan?

Sudah beberapa hari ini rekan kerja saya sibuk menjelajahi beberapa supermarket. Rupayanya ia mencari perlengkapan untuk putri bungsunya yang baru saja diterima di sebuah sekolah menengah kejuruan di kota depok dan sesuai tradisi setiap siswa baru harus mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS). Tidak tega anaknya harus bersusah payah memenuhi ketentuan panitia (yang notabene hanyalah kakak kelas), ibunya pun ikut menyingsingkan lengan. Biasanya memang begitu ya, yang MOS anaknya, tapi anggota keluarga lain ikut heboh.

Apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata MOS? Tugas-tugas yang tidak masuk akal? Atribut yang memalukan? Hukuman fisik? Yah, setelah hampir dua windu tahun saya lulus dari sekolah, ternyata tradisi itu masih dipegang teguh oleh siswa-siswa masa ini. Tentu sekarang kita bisa tersenyum mentertawakan kekonyolan MOS, terlebih kebodohan kita yang mau-maunya dipelonco oleh kakak kelas. 

Saya ingat waktu masuk kuliah, senior memaksa kami untuk mengikuti rangkaian acara orientasi, yang salah satunya adalah berkemah. Judulnya Psycho Camp. Karena tempatnya di Malang yang super dingin, saya khawatir tidak mampu mempertahankan kondisi tubuh yang alergi dingin. Oleh karena itu saya menolak untuk mengikuti acara tersebut. Lucunya, saya diintimidasi, diancam bahwa jika tidak ikut Psycho Camp akan dipersulit dan dijauhi teman-teman. Sekarang saya cuma bisa terkekeh, sambil berpikir, konyol sekali kakak senior itu. Semoga Tuhan memberikan petunjuk kepadanya.  Kenyataannya, selama 4 tahun perjalanan pendidikan sarjana saya, tidak satupun masalah Psycho Camp ini menjadi penghalang dalam berinteraksi dengan mahasiswa lain. Gertakan sambal terasi? hehe

Tapi, MOS tidak bisa menjadi kenangan yang menarik ketika ada yang menjadi korban seperti yang baru saja terjadi di Bekasi. Seorang siswa baru meninggal diduga karena kelelahan mengikuti kegiatan MOS. Katanya sih begitu. Yah, memang banyak manusia Indonesia ini sudah keburu dendam dengan yang namanya MOS, maka ketika almarhum menghembuskan nafas pada tanggal 30 Juli 2015, banyak yang langsung menuduh MOS sebagai biang keladinya. Padahal MOS dilakukan pada tanggal 7-9 Juli 2015. Oke. Yah, kita tunggu saja hasil investigasi pihak berwenang.

Tidak salah sih banyak yang geram, bisa jadi kebanyakan mereka adalah para orang tua yang direpotkan dengan segala persiapan MOS atau yang memiliki pengalaman MOS yang buruk ketika sekolah. Bahkan di SMA 2 Depok para orang tua memaksa sekolah menghentikan kegiatan mos disebabkan membengkaknya biaya untuk membuat kostum para siswa (hingga mencapai 300ribu rupiah). Memangnya ini pagelaran musikal?

Menurut berita ini, kostum aneh yang diwajibkan kepada siswa peserta MOS diperuntukkan agar mereka mampu membangun mental yang kuat: 
"Di SMK Setia Negara misalnya yang meminta siswa baru mengenakan kalung permen dan topi karton. Pihak sekolah mengaku hal itu masih dipertahankan tanpa maksud lain. Dengan cara itu, maka mental siswa baru bisa teruji. “
Sebenarnya pernahkah sekolah meneliti dampak penggunaan atribut terhadap mental anak? Ada bukti ilmiahnya? Jangan-jangan hanya karena tradisi dan menyerahkan kepada angkatan yang lebih tua. Guru dan sekolah, termasuk juga orang tua menganggap MOS sebagai ajang lucu-lucuan karena dulu juga pernah mengalami hal yang sama. 

Entah mental seperti apa yang diharapkan pihak sekolah yang tampaknya menutup mata pada perkembangan kejiwaan anak masa sekarang. Sudah bukan jamannya lagi membentuk perilaku dengan mempermalukan anak. Anak sekarang lebih rapuh dibandingkan generasi 10 tahun lalu. Para ahli memberi istilah Generasi Z untuk mereka yang lahir pada tahun 1996 ke atas, yaitu generasi multitasking, terhubung melalui internet. Generasi ini mengalami kesulitan untuk melakukan percakapan empat mata, seperti generasi sebelumnya. Waktu menjadi lebih berharga dan mereka mengharapkan keadaan yang lebih nyaman. Mereka butuh semakin banyak pilihan dan penghargaan (status), begitu pula kecepatan dan ruang. Mereka juga egosentris dan terjebak dalam realitas yang tidak nyata. Teammates menambahkan bahwa generasi Z tidak sabar dan berpikiran instan untuk mencapai ambisinya. Oleh karena itu, budaya MOS yang menantang mental anak seperti ini malah dapat menumbuhkan rasa rendah diri dan menurunkan semangat belajar. 

Beda jaman, beda gayanya, begitu kata salah satu komentar di artikel kompas hari ini. Gaya pendidikan 20 tahun lalu tentu tidak selalu tepat untuk anak sekarang. Tuntutan-tuntutan kehidupan dipersepsikan berbeda oleh generasi Z, yang dapat berujung pada masalah kejiwaan. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Elly Anggraeny Ang pada tahun 2007 menunjukkan tingginya prevalensi gangguan mental pada remaja di daerah Jakarta Pusat. Hasil prevalensi gangguan mental sebesar 26,5%. Gangguan mental banyak pada perempuan, usia 13 tahun, anak pertama, kelas 7 dan prestasi akademis rata-rata. Jenis gangguan mental tunggal terbanyak distimik (kepribadian depresi) dan diagnosis ganda terbanyak yaitu distimik dan agorafobia, distimik dan gangguan panik serta GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas) dan gangguan tingkah laku. Distimik dan gangguan cemas perpisahan banyak pada perempuan, di kelas 7 dengan akademis rata-rata. GPPH dan gangguan tingkah laku banyak pada laki-laki. 

Lihat juga berapa banyak anak-anak yang bunuh diri. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengungkapkan kasus bunuh diri di Indonesia terus meningkat bahkan tahun 2014 sebanyak 89 anak anak meninggal dengan sia sia, yang dirinci: 9 anak (5-10 tahun), 39 anak (12-15 tahun), dan 27 kasus anak di atas 15 tahun.  Pernah juga saya baca berita tentang anak-anak yang memilih mengakhiri hidupnya karena gagal Ujian Nasional (UN) di sini. duh.

Anak-anak masa sekarang jauh lebih pintar karena memiliki akses dan nutrisi yang melebihi generasi sebelumnya. Akan tetapi, layaknya macbook terbaru, ada yang harus dikorbankan untuk kecemerlangan tersebut. Misalnya seperti kata Menteri Pendidikan dasar dan Menengah, Anis Baswedan: banyak orang tua yang mengeluh karena anaknya tidak mempunyai rasa hormat. Di sinilah tantangan bagi orang dewasa untuk tetap menjaga dan mengembangkan anak dengan metode-metode yang tepat dalam mengoptimalkan kelebihannya.

Kalau saya berpendapat masa orientasi itu tetap perlu, sebagai pemanasan sebelum mulai belajar. Semacam matrikulasi kalau di program profesi yang isinya pengenalan tentang nilai-nilai sekolah, aturan dasar, siapa guru siapa anda. Bukan untuk mengembangkan potensi masokisme dan sadisme laten para siswa baru dan kakak kelasnya. Kegiatan fisik masih perlu, tapi bukan hukuman. Ingat men sana in corpore sano? Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Bagaimana mereka mau belajar penuh semangat kalau sakit-sakitan? Oleh karena itu kegiatan fisik dalam bentuk olah raga untuk anak, misalnya jogging sih oke oke aja. Tapi kegiatan ini dilakukan di pagi hari, jangan saat matahari bersinar terik, itu sih jaman romusha.

Di UI ada sebuah program AKU yang diberikan kepada siswa baru untuk pengenalan diri, yang mana dapat digunakan sebagai dasar pengembangan ke depan. Anak harus menyadari bahwa ia berharga dan punya hak, sehingga dapat menampilkan dirinya secara mandiri di depan umum, misalnya tidak malu untuk menolak perlakuan buruk atau menyatakan kondisi kesehatannya memburuk. 

Yang lebih penting lagi, masa orientasi adalah waktu bagi guru untuk mengumpulkan data mengenai anak didik. Apa saja yang sudah mereka tahu, sejauh mana kemampuan mereka dapat dikembangkan, atau bagaimana kepribadian siswa, sehingga guru dapat merancang teknik yang tepat untuk kegiatan belajar mengajar.

Hukuman?
Ah, ternyata perubahan perilaku lebih awet dengan reinforcement ketimbang hukuman. Jay Belsky mengatakan bahwa para ahli psikologi berpendapat menghargai perilaku baik lebih efektif ketimbang menghukum perilaku yang salah. Informasi bahwa anak melakukan kesalahan lebih rumit ketimbang informasi bahwa ia melakukan perilaku yang benar. Oleh karena itu, anak-anak lebih mudah memproses perilaku yang dipuji daripada belajar dari kesalahannya. Cara pandang inilah yang harus diadaptasi sekolah, guru, dan para siswa senior untuk menyambut siswa baru.


Referensi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2007. 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Ang, Elly Anggraeny. 2008.Karakteristik Gangguan Mental Pada Pelajar Remaja di Wilayah Jakarta Pusat Periode April-Mei 2007.Penelitian Kesehatan Seri 26,2008.
“Menteri Anis : Anak Sekarang Lebih Mengenal Batman”,http://pesonaguruku.blogspot.com/2015/07/menteri-anis-anak-sekarang-lebih.html
“Indonesia Darurat Kasus Bunuh Diri Anak”, http://katabanten.com/2015/01/indonesia-darurat-kasus-bunuh-diri-anak/
Belsky, Jay. 2008.“Rewards are Better than Punishment: Here’s Why”, https://www.psychologytoday.com/blog/family-affair/200809/rewards-are-better-punishment-here-s-why

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete