[Catatan Editor] Kesehatan reproduksi dan aborsi

Topik yang diangkat penulis Info Singkat untuk Vol. VI No. 16/II/P3DI/Agustus/2014 kali ini adalah pengecualian larangan aborsi untuk kasus indikasi medis dan korban pemerkosaan. Kedua hal ini diamanatkan dalam Undang Undang no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang pada tanggal 21 Juli 2014 lalu dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Yang paling menarik perhatian memang hanyalah 9 ayat terkait aborsi yang menegaskan bahwa aborsi boleh dilakukan jika (1) ada indikasi kedaruratan medis dimana kehamilan dapat membahayakan ibu dan bayi, dan (2) merupakan tindakan yang dipilih oleh wanita korban pemerkosaan.


Perkosaan adalah kekerasan seksual yang paling banyak terjadi di Indonesia. Sepanjang tahun 1998 hingga 2011 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatar 400.939 kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Dari jumlah itu, 93.960 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual, dengan perkosaan menempati jumlah terbanyak, 4.845 kasus. Sepanjang Januari 2013, sudah terjadi 25 kasus perkosaan dan dua kasus pencabulan. Dalam kasus-kasus tersebut diketahun jumlah korban mencapai 29 orang dan jumlah pelaku mencapai 45 orang.

Meningkatnya kasus perkosaan di Indonesia menyumbang pada meroketnya jumlah kehamilan yang tidak diinginkan. Karena umumnya kejahatan seksual di Indonesia tidak dilakukan secara terencana, menurut anda berapa banyak pemerkosa yang sempat mempersiapkan kondom? Bahkan ketika korban berada dekat dengan dirinya, pelaku perkosaan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin terjadi. Misalnya, seperti kasus perkosaan bapak terhadap anaknya di Jawa Barat yang dilakukan sejak sang anak kelas 6 SD hingga berusia 18 tahun. Ketika sang anak ketahuan hamil, ia segera dinikahkan dengan pria lain.*

Kira-kira bagaimana perasaan korban perkosaan diatas ketika mengetahui dirinya hamil? BUkan saja ia masih harus menderita tekanan karena diperlakukan semena-mena, namun juga akan menangguh beban anak yang tidak diinginkan. Belum lagi opini masyarakat yang akan merendahkannya. Berada dalam kondisi tersebut tentu akan mempengaruhi kesehatan jiwa korban perkosaan tersebut. Disinilah PP 61/2014 memberikan pilihan jika korban perkosaan ingin menggugurkan kandungannya. 

Namun, dikhawatirkan PP ini memberikan celah bagi aborsi kehamilan yang tidak diinginkan oleh mereka yang bukan korban perkosaan. Sudah bukan rahasia umum bahwa jumlah kasus seks bebas di kalangan remaja semakin mengkhawatirkan.  Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 yang menunjukkan justru terjadinya peningkatan jumlah remaja (usia 15-19 tahun) melahirkan. Pada tahun 2007 hanya 35 per 1.000 remaja putri yang melahirkan, namun di tahun 2012 jumlahnya meningkat menjadi 48 per 1.000 remaja putri. Data tersebut juga menunjukkan bahwa remaja putri yang melahirkan sebagian besar berada di pedesaan (69 per 1.000 remaja putri) dan di perkotaan memiliki rasio 32 per 1.000 remaja putri.

Melihat perbandingan tersebut, saya menduga bahwa kehamilan di usia dini sangat berhubungan dengan pengetahuan wanita. Dalam laporan pendahuluan remaja SDKI 2012 Kesehatan Reproduksi remaja juga diperlihatkan perbedaan akses informasi antara responden yang tinggal di perkotaan (6.154%) dengan yang tinggal di perdesaan (4.826 %). Perbedaan dalam akses terhadap media massa dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden; responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung mempunyai akses lebih banyak terhadap media informasi berupa surat kabar/majalah, radio dan televisi (2013:5).


Selanjutnya tentang PP 61/2014 dan aborsi bagi korban perkosaan dapat dibaca pada Info Singkat terbitan minggu ini. 


0 notices:

Post a Comment