Komisi IX pecah telur!

Membuat Undang-Undang itu bagaikan membuat rumah. Inisiatifnya adalah sebidang tanah dan membangunnya dibutuhkan berbagai bahan, tanah, pasir, semen, batu, kayu, dan masih banyak yang lain. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya pun tergantung pada pekerja dan mandornya. Meskipun pekerja rajin, tapi tanpa perintah dari sang mandor, maka pekerjaan tidak akan bergerak cepat. Namun, bahkan setelah rumahnya jadi pun, masih ada yang ingin ditambahkan. Renovasi sana sini. Tidak pernah akan sempurna.


Itulah yang saya rasakan ketika membantu Rancangan Undang-Undang Tentang Kesehatan Jiwa (RUU Keswa) di Komisi IX. Dimulai dari tahun 2012 dengan draf yang sudah dipendam lebih lama lagi, perjalanan RUU Keswa bukannya bebas masalah. Banyak yang mempertanyakan signifikansi RUU ini karena sebenarnya sudah dimuat dalam Undang Undang no. 36 tentang Kesehatan, yang sayangnya setelah diteliti ternyata belum dilaksanakan oleh Pemerintah. Tampaknya perhatian terhadap kesehatan jiwa dari stakeholder kesehatan sendiri juga masih kurang. Terlihat dari rendahnya pengetahuan mengenai materi kesehatan jiwa yang ingin dimasukkan dalam RUU Keswa. Ini mengindikasikan bahwa selama ini keswa bukanlah barang menarik untuk dilaksanakan. Bahkan meskipun Keswa termasuk dalam 18 program pokok puskesmas, tampak hanya disisipkan namun tidak dilaksanakan. 

Tapi, saudara-saudara, pada tanggal 30 Juni 2014 kemaren, Komisi IX bersama Menteri Kesehatan sudah menandatangani draf RUU Keswa untuk dapat diajukan ke Pembicaraan Tingkat II. Diharapkan sebelum tanggal 10 ini, RUU Keswa sudah disahkan.

RUU ini menjadi undang-undang pertama selama ibu menteri kesehatan, Hafsiah Mboi, menjabat sejak 2 tahun yang lalu. Nah, itu belum apa-apa, bu, malah ini pertamax bagi Komisi IX. Akhirnya pecah telur juga! Sebagai Komisi dengan produktivitas legislasi terendah pada periode 2009-2014 ini, komisi IX patut berbangga diri. Dan mungkin yang lebih perlu mendapat penghormatan adalah mantan ketua panja/wakil pimpinan komisi, Ibu Nova Riyanti Yusuf yang selalu mendorong pembahasan RUU meski anggota panja yang lain kebanyakan 'sibuk' dan tidak bisa hadir.

Lalu, apa signifikansinya RUU Keswa ini bagi masyarakat Indonesia? Yang jelas, kita harap orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, dengan kekhususan penyakitnya. Artinya perawatan yang sesuai, tidak disamakan dengan plafon pelayanan kesehatan fisik biasa. Ini jelas pe er berat buat pemerintah yang sedang ditimpa kritik pedas dan bertubi-tubi mengenai penyelenggaraan BPJS. Tapi, ingat! UU ini, seperti undang-undang lain, merupakan hasil kesepakatan dari DPR RI dan Pemerintah (atas tanda tangan presiden), oleh karena itu jika pelaksanaannya mengalami hambatan, bolehlah kita lempar molotov kritik ke Kementerian Kesehatan. Seringnya kan kalau sebuah UU gagal menjawab tantangan masyarakat, maka DPR lah yang dicaci maki. Mohon maaf, bukan membela, tapi sebagai peneliti saya sudah terjun ke daerah untuk mengecek seberapa jauh kesiapan, kesigapan, dan kemauan pemerintah dalam menjalankan amanat UU dan we know they mostly have beautiful agenda only.

Disisi lain, meskipun pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemerintah, DPR memiliki tugas yang lebih berat yaitu mengawasi. Oleh karena itu, DPR-terutama Komisi IX, harus belajar dari pengalaman yang sebelumnya, yaitu kegagalan dalam mengawasi amanat Undang-Undang no. 26 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan dibuatnya Peraturan Pemerintah untuk mengatur upaya kesehatan jiwa (pasal 151). Kalau dipikir tidak wajar jika produk Komisi IX yang cuma seiprit tapi tidak bisa diawasi. Pengawasan DPR terasa lemah dan tidak mengikat. Apalagi kalau kita baca dalam naskah undang-undang tidak ada yang memberikan sanksi jika pemerintah gagal menerbitkan peraturan pelaksananya. Terus, bagaimana mau menjalankan isi undang-undang, jika peraturan presiden atau peraturan menterinya belum terbit? 



0 notices:

Post a Comment