KETIDAKPUASAN BURUH ALIH DAYA

Elga Andina

Peneliti bidang Studi Psikologi pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: elga.andina@dpr.go.id

dipublikasikan pada Mei 2013

Melalui peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2013 lalu, Buruh menuntut penghentian praktik alih daya. Praktik ini telah merugikan buruh dari segi penghasilan, karir, dan perlindungan. Lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pelaku praktik alih daya menjadi penyebab utama terjadinya banyak penyelewengan ketenagakerjaan ini. Di sisi lain, buruh juga perlu meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya agar dapat meningkatkan nilai jualnya di pasar tenaga kerja.

alihdaya_ega

A.    Pendahuluan

Perayaan Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei yang lalu di kawasan Jabodetabek berlangsung tertib meskipun melibatkan hampir 600 ribu buruh. Peringatan tahunan ini dimanfaatkan buruh untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dan DPR-RI. Selain menuntut pelaksanaan BPJS pada 1 Januari 2014, revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, penolakan atas upah murah dan penurunan biaya hidup/produksi, buruh juga menekankan segeranya dilakukan penghapusan tenaga kerja outsourcing (alih daya).

Berdasarkan pendataan sementara per 10 Oktober 2012 yang dilakukan terhadap dinas-dinas yang menangani ketenagakerjaan di tingkat provinsi, terdapat 6.239 perusahaan PPJP/B dengan jumlah pekerja sebanyak 338.505 orang. Namun kalau dihitung dengan perusahan yang belum terdaftar, jumlah perusahaan alih daya di Indonesia bisa mencapai 12.000 perusahaan dengan total pekerja 20 juta orang.

Data lain menunjukkan dari 33 juta pekerja formal di Indonesia, diperkirakan sekitar 60 persen atau 20 juta pekerja bekerja dengan sistem alih daya. Sedangkan Penelitian Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) dengan Friedrich Ebert Stiftung menemukan bahwa sekitar 47 persen pekerja di industri padat modal bekerja dengan sistem alih daya. Sementara itu, industri padat karya mempekerjakan 60 persen pekerjanya dengan sistem alih daya.

Buruh alih daya tidak hanya dipasok untuk industri swasta, namun juga masuk ke perusahaan BUMN. Dahlan Iskan mengakui bahwa dari 141 perusahaan BUMN yang ada, masing-masingnya memiliki cara dan mekanisme berbeda dalam menerapkan sistem alih daya ini.

Buruh meminta pemerintah menghapus secara total sistem kontrak maupun alih daya yang saat ini diakomodasi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut menurut para buruh cenderung mendukung sistem yang merugikan, baik mulai saat sebelum bekerja, saat bekerja, maupun saat akhir bekerja.

  1. Sebelum Bekerja

Buruh yang akan disalurkan seringkali dipungut biaya tertentu dengan dalih administrasi pekerjaan. Buruh juga tidak diperlihatkan kontrak kerja yang jelas, apalagi diberikan salinan kontrak, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk menuntut haknya. Beberapa pengerah alih daya mengharuskan buruh untuk menyerahkan ijazah sehingga ia tidak dapat melamar ke perusahaan lain serta tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengembangan untuk meningkatkan karirnya.

  1. Saat Bekerja

Buruh alih daya tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan yang didapat karyawan permanen. Karena mereka dibayar harian, maka mereka tidak mendapatkan dispensasi untuk ijin sakit atau sejenisnya sehingga pendapatannya menjadi berkurang. Belum lagi permasalahan perhitungan gaji atau lembur yang tidak transparan. Selain itu, upah buruh alih daya biasanya dipotong oleh perusahaan penyuplai tenaga kerja sebagai management fee. Akibatnya, upah buruh yang mungkin sudah sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP), menjadi lebih rendah. Di sisi lain, mereka juga tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan yang memadai. Pengaturan mekanisme Jamsostek dan pajak penghasilan bagi mereka seringkali tidak jelas.

  1. Akhir Bekerja

Buruh alih daya didaftarkan dengan status kontrak. Sesuai dengan Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan, perjanjian untuk mereka adalah perjanjian waktu tertentu yang hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Perjanjian ini hanya dapat diperpanjang satu kali. Setelah kuota perpanjangan berakhir, mereka dapat diberhentikan dan dimasukkan kembali dengan status kontrak baru. Hal ini sangat merugikan karena masa kerja mereka terhapus ketika memulai kontrak baru, sehingga mereka tidak diperhitungkan untuk peningkatan karir.

Karena statusnya yang berupa karyawan kontrak, buruh alih daya dapat sewaktu-waktu diputus kontraknya. Hal ini memberikan perasaan tidak aman bagi buruh menyangkut keberlangsungan penghidupannya.

Di sisi lain, sistem alih daya dianggap menguntungkan bagi para pengusaha, karena bisa menekan biaya. Perusahaan dapat memangkas biaya rekrutmen yang harus dikeluarkan departemen sumber daya manusia dengan meminta suplai tenaga kerja dari perusahaan alih daya, memfokuskan pada kegiatan utamanya, dan memiliki akses kepada sumber daya yang tidak dimiliki perusahaan.

Masing-masing pihak memiliki kepentingan berbeda yang perlu ditemukan.



  1. A.    Praktik Alih Daya di Indonesia

Praktik alih daya di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an, yaitu didasari dengan keputusan Menteri Perdagangan RI No. 264/KP/1989 tentang Pekerjaan Sub-kontrak Perusahaan Pengelola di Kawasan Berikat. Industri yang pertama kali bersentuhan dengan alih daya adalah industri perminyakan.

Pada tahun 2003, melalui pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan, pengaturan pekerja alih daya diperbaharui menjadi:

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Aturan ini menyebutkan bahwa pekerjaan alih daya harus dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Selain itu, perusahaan pengerah alih daya harus berbentuk badan hukum.

Aturan tersebut diperjelas dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dan Pengaturan Outsourcing yang menyebutkan lima jenis pekerjaan yang boleh dilakukan secara alih daya, yaitu cleaning service, keamanan, transportasi, catering, dan jasa migas pertambangan.

B.    Lemahnya Pengawasan

Permasalahan utama praktik alih daya bermuara pada rendahnya kesejahteraan yang didapatkan buruh. Padahal Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 90 ayat (1) sudah memberikan tuntunan bahwa “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.” Dalam Pasal 185 diatur bahwa majikan yang melanggar pasal tersebut diancam hukuman pidana minimal satu tahun sampai maksimal empat tahun penjara dan delik ini masuk tindak pidana kejahatan.

Di Indonesia, kesejahteraan kerap sekali berhubungan dengan keberlangsungan penghasilan. Pekerja alih daya tidak memiliki daya tawar untuk memastikan kelangsungan pekerjaannya karena mereka dapat diputuskan hubungan kerja sewaktu-waktu.

Munculnya konflik ketenagakerjaan ini tidak lepas dari lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan sistem alih daya. Pemerintah tampak tidak memiliki konsep yang jelas mengenai praktik alih daya. Pemerintah juga lemah dalam menindak penyelewengan terhadap konsep ketenagakerjaan yang sudah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

C.    Ketidakpuasan vs Kemampuan

Ketidakpuasan buruh alih daya disebabkan adanya pembandingan hasil yang diterimanya dengan hasil yang diterima karyawan tetap. Dalam psikologi, hal ini dijelaskan dengan Teori Keadilan yang disampaikan oleh Adams. Menurutnya, orang akan puas jika dianggapnya apa yang diterimanya seimbang dengan apa yang diterima orang lain.

Namun, permasalahan buruh alih daya tidak bisa dilihat dari sisi pendapatan saja. Perlu dipertimbangkan pula bahwa praktik tenaga kerja murah bukan semata-mata peranan perusahaan atau pemerintah, namun adalah mekanisme pasar yang sudah berlangsung. Semakin banyak tenaga kerja yang tidak terpasok berakibat pada penurunan harga tenaga kerja itu sendiri. BPS mencatat adanya 7,2 juta pengangguran terbuka yang menunjukkan rendahnya kompetensi penduduk usia kerja yang memenuhi kebutuhan industri. Pengangguran terbuka Indonesia pada Februari 2013 banyak terjadi pada masyarakat lulusan sekolah menengah atas (SMA). Tingkat pengangguran terbuka para lulusan SMA yang belum sempat bekerja ini mencapai 9,39 persen.

Kebanyakan buruh tidak memiliki nilai jual yang pantas dihargai dengan upah maksimum, karena kurangnya pengalaman, keterampilan, dan pendidikan. Oleh karena itu, buruh perlu dipersiapkan untuk menghadapi pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif, terutama dengan menyelaraskan materi didik/latih dengan kebutuhan industri.

Peningkatan upah tidak dapat dianggap sebagai solusi karena permasalahan utama bukan pada uang yang dihasilkan, namun bagaimana buruh mengelola kehidupannya dengan penghasilannya. Upah seharusnya disesuaikan dengan kemampuan sehingga menghasilkan kepuasan. Oleh karena itu, perbaikan pasar tenaga kerja sangat berhubungan dengan peningkatan keterampilan dan pembentukan cara pandang positif. Buruh perlu mengubah cara pandangnya untuk menyadari bahwa persaingan semakin ketat, dan perusahaan harus membayar mereka yang bekerja baik, bukan hanya yang terdaftar dalam slip gaji.

D.    Penutup

Praktik alih daya yang dilakukan di Indonesia semakin mengkhawatirkan dengan berbagai penyimpangan yang merugikan buruh alih daya. Kerugian tersebut diantaranya:

  1. Rendahnya upah, yang berujung pada minimnya kesejahteraan buruh alih daya.

  2. Ketidakadilan dalam posisi kepegawaian, sehingga buruh alih daya acap diintimidasi, dicurangi, dan dikurangi haknya baik oleh perusahaan maupun pengerah tenaga alih daya.

Lemahnya pengawasan pemerintah terhadap rendahnya kesejahteraan buruh harus menjadi perhatian mengingat peraturan mengenai praktik alih daya sudah banyak dan komprehensif.

DPR-RI dalam hal ini bertugas melakukan upaya pengawasannya terhadap pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan tersebut. Oleh karena itu pada tanggal 10 April 2013, melalui RDPU Komisi IX dengan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, dibentuklah Panja Outsourcing. Panja ini diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan outsourcing, terutama di perusahaan BUMN. Namun, lebih jauh lagi, Panja ini harus mampu mendorong Pemerintah menindak tegas perusahaan atau perusahaan alih jasa yang melanggar peraturan. Hasil evaluasi panitia ini dapat dijadikan landasan perlu tidaknya dilakukan perbaikan atas Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Di sisi lain, penguatan mental dan keterampilan buruh mutlak dilakukan untuk menambah nilai jual buruh tersebut di pasar tenaga kerja. Buruh yang berkualitas memiliki daya saing yang lebih tinggi untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik.

Rujukan:

  1. “Pengusaha Jangan Pura-Pura Tidak Tahu. Outsourching Bukan untuk Pekerjaan Inti,” http://m.eksposnews.com/content/46299, diakses 2 Mei 2013.

  2. “Dahlan Jelaskan Praktik Outsourcing di BUMN,” http://skalanews.com/berita/detail/142920/Dahlan-Jelaskan-Praktik-Outsourcing-di-BUMN, diakses 2 Mei 2013.

  3. “Hakim Konstitusi Arief: Bayar Di Bawah UMR Pengusaha Tak Bisa Dipidana,” http://news.detik.com/read/2013/05/02/133806/2236305/158, diakses 2 Mei 2013.

  4. Wachid Fuady. 2012. “Problematika Sistem Alih Daya dan Alternatif Pemecahannya.” Jurnal Ekonomi Manajemen dan Akuntansi, No.33/Th. XIX/Oktober.

  5. “Dahlan Usul BUMN Kelola Tenaga Alih Daya,” http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/04/08/17414619, diakses 2 Mei 2013.

  6. “Perwakilan Serikat Buruh Membentuk Majelis Pekerja Buruh Indonesia,” http://nasional.kompas.com/read/2012/05/01/16373854, diakses 2 Mei 2013.

  7. “Jasa bisnis alih daya mulai ketar-ketir,” http://industri.kontan.co.id/news/jasa-bisnis-alih-daya-mulai-ketar-ketir, diakses 6 Mei 2013.

  8. Outsourcing di Indonesia, Peluang dan Tantangan,” http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/05/01/, diakses 6 Mei 2013.

  9. “Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2013,” http://www.bps.go.id/brs_file/naker_06mei13.pdf, diakses 6 Mei 2013.

  10. Keputusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Outsourcing No. 27/PUU-IX/2011.

0 notices:

Post a Comment