Meretih keindahan bahasa Indonesia

Pernahkah anda mendengar kata "meretih"? Baru-baru ini saya menemukan kata tersebut di sebuah buku terjemahan. Kata yang indah, dengan makna yang sama indahnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini berasal dari kata "retih" yang artinya:

sumber: http://kamusbahasaindonesia.org/retih


Kata ini sungguh aneh bagi telinga saya karena jarang beredar dalam percakapan sehari-hari. Namun, penemuan kata ini mengingatkan saya bahwa Indonesia memiliki banyak kata, bahkan lebih banyak dari yang kita ketahui. Hal ini terjadi karena bahasa Indonesia adalah bahasa terbuka, yang banyak menyerap dari bahasa lain. Bahasa Daerah yang mempengaruhi bahasa nasional saja sudah berjumlah 720 jenis. Belum lagi yang berasal dari bahasa asing, seperti:

sumber: Buku berjudul "Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).

Bapak Sriyanto dari Pusat Bahasa sendiri menggambarkan perkembangan kata bahasa Indonesia dilihat dari peningkatan volume kata di Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu 620.000 kata di tahun 1928 menjadi 900.000 kata di tahun 1998.

Pada kenyataannya, bahasa Indonesia memang menjadi terabaikan dalam sistem kehidupan kita. Padahal pendahulu kita sudah jelas-jelas berjanji dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa penyatu kita. Tetapi, masih jelas dalam ingatan kita bagaimana tingginya tingkat kegagalan peserta Ujian Nasional 2011 terutama pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Bahkan salah seorang pemimpin kita pernah menyeletuk bahwa tidak ada padanan bahasa Indonesia (untuk kata asing yang diucapkannya) karena bahasa Indonesia itu terbatas. Beliau pasti lupa tidak melirik kamus bahasa Indonesia.

Saya melihat sedikitnya ada dua penyebab rendahnya penetrasi bahasa Indonesia dalam kehidupan keseharian masyarakat. Pertama, ada gejala meremehkan. Bahasa Indonesia dianggap remeh karena merupakan bahasa yang digunakan sehari-hari. Proses mempelajari bahasa Indonesia tidak semenarik bahasa asing. Padahal, bahasa Indonesia untuk komunikasi dan bahasa pendidikan (misalnya karya tulis ilmiah) sangat berbeda. Rendahnya kemampuan berbahasa ilmiah ini tentu berpengaruh terhadap animo membuat karya tulis *Hal ini perlu diperhatikan DIKTI sebelum mencetuskan kewajiban memproduksi karya tulis ilmiah bertaraf jurnal, karena dengan begitu bertambahlah kewajiban Kementerian pendidikan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa tulisan bagi anak didik, mulai dari jenjang sekolah*

Kedua, kurang membaca. Tidak salah jika pepatah mengatakan bahwa Buku adalah Jendela Dunia. Dengan membaca, seseorang (seperti saya) menemukan kata-kata baru yang jarang ditemuinya, dan daftar kosa katanya pun bertambah. Penulis yang banyak membaca akan memiliki pilihan kata yang kaya. Sebaliknya, mereka yang jarang menemukan kata-kata akan bergaul dengan kata yang sama, akibatnya peredaran kata pun tidak mengalami perkembangan.

Kosa kata bahasa Indonesia bagaikan harta karun yang menunggu kita gali. Bayangkan berapa banyak kejutan yang akan kita peroleh? Paling tidak, saya merasa sangat senang ketika menemukan kata "meretih" diatas.

0 notices:

Post a Comment