MEMAHAMI BUKAN MEMAKLUMI

catatan seorang editor

Baru satu bulan saya diangkat menjadi redaktur lokal untuk publikasi info singkat kami. Dihadapkan dengan tugas baru ini benar-benar membuat saya harus belajar banyak. Betapa tidak, membaca karya tulis orang lain membuat saya banyak tahu dan lebih terasah dalam merangkai kalimat. Pengalaman ini membuat saya perlu berterima kasih kepada orang-orang yang pernah mengedit tulisan-tulisan saya. Ternyata mengedit itu susah.



Jika orang berpikir mengkritisi tulisan orang lain adalah pekerjaan gampang, maka ia pasti belum menjadi editor sejati. Seorang editor bukan hanya korektor tulisan, tapi juga seorang konselor. Seorang editor bukan pencaci, bukan pula diktator yang arogan dan merasa selalu benar. Seorang editor seharusnya adalah orang yang ingin memahami, menelaah dan melindungi penulis. Editor adalah “teman baik” si penulis.

Ingat, tidak ada orang yang suka menjadi inferior. Kita memiliki harga diri yang pada tingkat tertentu tidak boleh diusik. Kata-kata yang tertuang dalam tulisan kita merupakan cerminan dari kepribadian dan nilai-nilai kita. Oleh karena itu, editor harus berhati-hati dalam mengedit gaya penulisan.

Pernah dalam sebuah rapat redaksi yang membahas tulisan yang hendak dimuat, semua redaksi merasakan ada yang janggal dengan naskah ini. Ketika semua kritik dan masukan telah dilontarkan, ketua redaksi mengingatkan, “Kita juga harus maklum. Menulis juga bukan hal yang gampang. Jadi, kita harus menghargai tulisan ini,”

Namun, saya yakin bahwa tidak ada penulis yang ingin tulisannya dimuat karena dimaklumi. Kita semua ingin dikenal karena kemahiran menulis. Oleh karena itu, editor tidak perlu keterampilan memaklumi, namun kemampuan untuk memahami. Seorang editor harus mampu memahami ide yang ingin disampaikan penulis. Seorang editor harus bisa memaknai rangkaian kalimat—sekacau apapun itu—agar dapat memperbaikinya dengan tepat tanpa mengubah maksud si penulis.

0 notices:

Post a Comment