Kondisi Pendidikan dan Pekerjaan Perempuan di Provinsi Aceh

Oleh: Elga Andina

[Calon peneliti bidang kepakaran Psikologi]

telah dipublikasikan dalam buku ”Pencapaian Millenium Development Goals Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.” dengan judul Peta Pendidikan dan Pekerjaan Perempuan di Provinsi Aceh.  Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2010. ISBN:978-602-8722-33-9.



Pendidikan itu sama pentingnya bagi laki-laki dan perempuan,

dengan begitu kita tahu bagaimana cara bertahan hidup

~Twilight Samurai, 2002

Cita-cita pendiri negeri ini adalah memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Untuk menciptakan kondisi ideal tersebut, maka mutlak dibutuhkan pemerataan pembangunan baik secara fisik maupun moril. Pendidikan sebagai tiang pembangunan moril menempati posko yang terdepan, karena dengan pengetahuan maka manusia dapat mengembangkan dirinya.
sumber: First Class (2014)

Sejarah pendidikan Indonesia memang telah melalui episode pahit yang seharusnya menjadi pelajaran bagi peningkatan kualitas. Pendidikan di jaman kolonialisasi Belanda diselenggarakan hanya untuk memenuhi kebutuhan para pegawai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.



Dalam berbagai tulisan sejarah ini, perempuan kerap menjadi kaum marginal. Bukti sejarah dapat dilihat di Museum Kebangkitan Nasional yang menunjukkan rendahnya kesempatan perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Kelas-kelas wanita bahkan tidak memberikan informasi yang general dan lebih ditujukan kepada persiapan peran wanita sebagai ibu rumah tangga. Namun, di lain pihak para lelaki dipersilahkan menuntut ilmu sampai keluar negeri.

Pemetaan pendidikan diatas tidak terlepas dari budaya bangsa yang menempatkan perempuan sesuai dengan streotype kemampuan kerjanya, yaitu rapi, tekun dan teliti. Selain itu, ada pengaruh pengajaran Islam yang menekankan fungsi wanita sebagai pengurus rumah tangga. Sayangnya, peranan ini dijadikan alasan untuk menghalangi wanita untuk mengembangkan minatnya di bidang lain. Paling tidak, akses pendidikan untuk perempuan menjadi terbatas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2010 menyebutkan bahwa angka melek huruf perempuan berusia diatas 15 tahun pada tahun 2008 tercatat sebanyak 89,10 persen, dan di tahun  2009 berkurang menjadi 86,68 persen. Bandingkan dengan persentasi melek huruf penduduk laki-laki usia 15 tahun keatas di tahun 2008 yang mencapai 95,38 persen dan terus meningkat di tahun 2009 menjadi 95,65 persen.

Akibat rendahnya akses tersebut, banyak perempuan yang terjerat buta aksara, hingga menyebabkan rendahnya daya saing hidup. BPS juga merilis data pengangguran terbuka perempuan usia kerja (usia diatas 15 tahun) dimana pada tahun 2009 berjumlah 3.676.056 jiwa, kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi sebesar 3.718.366 orang.

Fakta menunjukkan mayoritas perempuan masih terpinggirkan dan miskin. Jumlah perempuan buta huruf, miskin, kurang gizi, meninggal karena melahirkan, dan tidak punya pekerjaan masih sangat tinggi. Wajah kemiskinan dunia masih didominasi oleh wajah perempuan dan dunia tidak bisa keluar dari kemiskinan ini tanpa mensejahterakan perempuan (Muchtar,2010: 61).

Mendapatkan pendidikan saja tidak cukup untuk perempuan meningkatkan harkat dan martabatnya. Perempuan cenderung kesulitan mendapatkan pekerjaan yang bervariasi. Seringkali perempuan terdampar pada pekerjaan-pekerjaan domestik yang lebih mengandalkan kemampuan fisik dibandingkan kemampuan berpikir secara konseptual. Padahal, potensi perempuan tidak kurang dibandingkan laki-laki. Dengan begitu, pemetaan pendidikan dan pekerjaan diatas telah menyia-nyiakan potensi perempuan.

Di Provinsi Aceh, persentase Angka Melek Huruf pada tahun 2008 adalah 97,71 persen bagi Laki-laki dan 94,28 persen di kalangan perempuan. Peningkatannya tidak banyak ketika di tahun 2009 angka tersebut berubah menjadi 97,95 persen laki-laki dan 94,99 persen perempuan. Kesempatan sekolah pun lebih berpihak kepada laki-laki dimana pada tahun 2008, perempuan rata-rata hanya bersekolah 7,9 tahun sedangkan laki-laki mencapai 8,6 tahun. Pada tahun 2009, laki-laki dapat menyelesaikan pendidikan wajib 9 tahun sedangkan rata-rata wanita hanya bersekolah 8,3 tahun.

Bahkan setelah bertahun-tahun merdeka, pendidikan untuk perempuan masih juga menjadi persoalan yang menjadi batu sandungan dalam pergerakan pendidikan di Aceh. Ketika semakin banyak sekolah yang menawarkan berbagai bentuk pendidikan, semakin banyak pula perempuan yang terpaksa tidak melanjutkan sekolah. Provinsi Aceh memiliki keuntungan karena telah diberikan status Otonomi Khusus yang memungkinkannya membangun fasilitas pendidikan memadai dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya. Lalu, bagaimana pemerintah daerah Provinsi Aceh mengelola pendidikan untuk perempuan di daerahnya? Bagaimana akses pendidikan dan lapangan kerja bagi wanita di Provinsi Aceh?

Kondisi Umum Pendidikan di Aceh

Kondisi pendidikan penduduk Aceh telah digambarkan dengan cukup komprehensif dalam publikasi Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. Penduduk Aceh saat ini berjumlah 4.363.477 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 99. Pada tahun 2009, jumlah penduduk laki-laki dan perempuan sebanyak 2.171.388 dan 2.192.089. Dengan begitu jumlah perempuan sedikit lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini terutama terlihat di kabupaten Pidie, Pidie Jaya dan Bieruen. Kabupaten Pidie Jaya dan Bieruen adalah dua kabupaten berpopulasi terbesar di Aceh. Proporsi ini tampak agak berbeda di kota Banda Aceh, kabupaten Aceh Jaya dan kabupaten Simeuleu dimana rasio jenis kelamin masing-masing 112, 108 dan 107. Artinya, di kabupaten/kota tersebut terdapat lebih banyak penduduk laki-laki daripada penduduk perempuan. Dari populasi diatas sejumlah 567.284 penduduk masih berusia sekolah dasar, yaitu 13% dari keseluruhan populasi. Sedangkan penduduk usia pendidikan menengah (13-15 tahun) berjumlah 280.401 orang, usia pendidikan atas (16-18 tahun) ada 273.770 jiwa dan usia 19-24 tahun sebanyak 520.695 jiwa.

Penyebaran penduduk usia sekolah di Aceh tidak merata. Pada tahun 2009, Kabupaten dengan penduduk usia sekolah terbanyak adalah kabupaten Aceh Utara dengan jumlah sebagai berikut:

Usia
Laki-laki
Perempuan
Total
7-1237.44936.49473.943
13-1518.53318.03636.569
16-1818.21018.27128.481
19-2432.84634.28967.135

Penyebaran pendidikan di Aceh dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:


No
Data
Tahun
2010
2011
A.Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah (SD/MI)
Jumlah penduduk Usia 7-12 Tahun (orang)570.821567.284
Jumlah SD/MI/SDLB (buah)3.8243.843
Jumlah siswa SD/MI/SDLB (orang)640.086629.179
Jumlah guru SD/MI/SDLB (orang)39.88360.999
Jumlah SD/MI/SDLB yang terakreditasi (buah)2.6233.014
B.Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTS)
Jumlah penduduk Usia 13-15 tahun (orang)288.097280.401
Jumlah siswa SMP/MTS/SMPLB (buah)1.0731.211
Jumlah siswa SMP/MTS/SMPLB (orang)269.962269.912
Jumlah guru SMP/MTS/SMPLB (orang)21.66728.972
Jumlah SMP/MTS/SMPLB yang terakreditasi (buah)660845
C.Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA)
Jumlah penduduk Usia 16-18 tahun (orang)287.957273.770
Jumlah siswa SMA/MA/SMALB (buah)565588
Jumlah siswa SMA/MA/SMALB (orang)181.789183.036
Jumlah guru SMA/MA/SMALB (orang)17.25917.996
Jumlah SMA/MA/SMALB yang terakreditasi (buah)447495
D.Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Jumlah siswa SMK (buah)111129
Jumlah siswa SMK (orang)30.95536.625
Jumlah guru SMK (orang)2.8242.911
Jumlah SMK yang terakreditasi (buah)6389

Bila kita mencermati kondisi pendidikan di Provinsi Aceh dari 3 indikator pencapaian target MDGs 2, maka ditemukan bahwa:

  1. Angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar di Aceh mencapai 99,07 persen, yang berarti masih ada 0,03 persen anak usia 7-12 tahun yang belum/tidak pernah bersekolah dan yang tidak bersekolah lagi. Angka ini merupakan perhitungan BPS Provinsi Aceh yang sedikit berbeda dengan data yang dirilis Kementrian Pendidikan Nasional, dimana disebutkan APM penduduk usia 7-12 tahun di SD/MI di Aceh tahun 2009 adalah sebesar 89,39 persen. Terlepas dari benar atau salahnya, Dinas Pendidikan Provinsi Aceh memperkirakan APM penduduk usia 7-12 tahun di SD/MI di Aceh 2009 mendekati 95 persen.

Dalam laporan BPS pula diperlihatkan presentase jumlah penduduk laki-laki usia 7-12 tahun yang tidak/belum pernah sekolah  sebesar 0,33 persen, yang masih sekolah sebesar 98,83 persen dan yang tidak lagi bersekolah tercatat 0,84 persen di tahun 2009. Sedangkan prosentasi penduduk perempuan usia 7-12 tahun yang tidak/belum pernah sekolah pada tahun 2009 adalah 0,39 persen, masih sekolah 99,35 persen dan yang tidak lagi bersekolah sebanyak 0,26 persen.

  1. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar termasuk tinggi.

Dinas Pendidikan Provinsi Aceh menyatakan bahwa rata-rata angka putus sekolah di Aceh berada dibawah 1 persen pertahun. Pada tahun 2010, rata-rata DO di pendidikan dasar berada dibawah 1 persen. Jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang tidak lagi bersekolah pada tahun 2009 mencapai 0,57 persen. Angka ini tampak meningkat dari tahun 2008 yang hanya sebesar 0,41 persen. Namun,   persentasi drop out tahun 2009 merupakan sebuah peningkatan mengingat tahun 2007 angka putus sekolah mencapai 0,62 persen. Angka putus sekolah dipengaruhi jumlah penduduk perempuan yang tidak lagi bersekolah. Pada tahun 2007 & 2009, jumlah penduduk laki-laki usia 7-12 tahun lebih banyak yang putus sekolah dibandingkan jumlah penduduk perempuan usia 7-12 tahun. Sedangkan pada tahun 2008, penduduk perempuan usia 7—12 tahun lebih tinggi prosentasi putus sekolahnya dibandingkan jumlah penduduk laki-laki usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah lagi, yaitu 0,47 persen dari 0,34 persen.

  1. Angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun, laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan data BPS Aceh, Angka Melek huruf Usia 15-24 Tahun di Aceh pada tahun 2009 adalah sebesar 99,79 persen. Angka ini dijelaskan pula menurut tempat tinggalnya. Pada tahun 2009 terdapat 0,002 persen penduduk  berusia 15-24 tahun yang tinggal perkotaan dan 0,30 persen penduduk perdesaan yang masih buta huruf. Namun, data BPS tidak menyebutkan prosentase angka melek huruf antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan.

Pelaksanaan pendidikan di Aceh diatas  memang didukung dengan besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah. Undang Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 193 ayat (1) dengan jelas menegaskan anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan paling sedikit 20 persen dari APBA/APBK dan diperuntukkan bagi pendidikan pada tingkat sekolah. PBK Lhokseumawe tahun 2011 Rp. 459,3 miliar, di mana Belanja Tidak Langsung Rp. 303,1 miliar dan Belanja Langsung Rp.156,2 miliar. Untuk Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olah Raga dialokasikan Rp.149,7 miliar dengan belanja pegawai Rp. 131 miliar. Sehingga, katanya, hanya Rp. 18 miliar atau 3,96 persen dari APBK untuk anggaran publik. Ini juga terjadi di Dinas kesehatan yang memperoleh alokasi anggaran Rp. 36,7 miliar, untuk belanja pegawai mencapai sekira Rp30 miliar, sedangkan anggaran publik hanya sekitar Rp6 miliar atau 1,46 persen dari total APBK.
Akses Pendidikan bagi perempuan di Provinsi Aceh

Berdasarkan data tersebut diatas, maka diketahui bahwa Provinsi Aceh telah mampu memberikan pendidikan dasar yang layak bagi seluruh masyarakatnya. Selanjutnya, yang perlu diperhatikan dalam proporsi penerima pendidikan disini adalah jumlah perempuan dan laki-laki di bangku sekolah. Ternyata, tidak seperti anggapan umumnya, provinsi Aceh telah berhasil mendukung pendidikan untuk semua sehingga kaum perempuan pun banyak menikmati pendidikan. Bahkan, Dinas Pendidikan Provinsi Aceh menginformasikan adanya peningkatan jumlah siswa perempuan dibandingkan laki-laki di berbagai level pendidikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:



  1. tingginya motivasi belajar siswa perempuan dibandingkan siswa laki-laki.

Menurut Kepala Sub Dinas Bina Program Dinas Pendidikan Provinsi Aceh, saat ini jumlah siswa perempuan meningkat di setiap level pendidikan, meskipun rasionya tidak besar. Hal ini terkait dengan potensi dasar perempuan yang lebih tekun dan ulet dalam menjajal ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, perempuan Aceh terkenal dengan jiwa juang yang tinggi. Sifat ini dapat dilihat dari kepahlawanan pejuang wanita Aceh di jaman dulu yang menunjukkan kekuatan dan keteguhan bergerak para perempuan.

Bahkan, pada saat ini perempuan mulai lebih banyak mengambil kesempatan di jenjang pendidikan tinggi dibandingkan lelaki. Semakin banyak bermunculan akademi keperawatan di kota Banda Aceh yang mayoritas siswanya adalah perempuan. Di Universitas Syiah Kuala sendiri, jumlah perempuan yang mengambil jurusan yang kompetitif seperti jurusan ekonomi dan kedokteran lebih banyak dibandingkan laki-laki. Data BPS menunjukkan terdapat 303 mahasiswi dan 241 mahasiswa di strata S1 jurusan ekonomi Universitas Syiah Kuala. Pada strata S1 jurusan kedokteran terdapat 823 mahasiswi dan hanya 380 mahasiswa. Sedangkan jurusan hukum memiliki 611 mahasiswi dan 229 mahasiswa.


  1. Besarnya kesempatan laki-laki usia sekolah untuk bekerja dibandingkan perempuan.

Data BPS tahun 2009 menunjukkan rasio angkatan kerja laki-laki lebih tinggi daripada jumlah angkatan kerja perempuan.




Tahun/Year



Laki-laki/


Male



Perempuan/


Female



Jumlah/


Total



(1)



(2)



(3)



(4)



1998



1.019,6



611,7



1.631,3



1999



1.045,0



635,4



1.680,4



2000



1.071,2



660,1



1.731,3



2001



1.124,7



693,1



1.817,8



2002



1.101,0



727,0



1.828,0



2003



1.335,0



866,9



2.201,9



2004



1.074,1



544,9



1.619,0



2005



1.081,7



680,5



1.762,2



2006



1.125,6



687,9



1.813,5



2007



1.121,0



621,2



1.742,2



2008



1.153,5



639,9



1.793,4



2009



1.194,0



703,9



1.897,9


sumber: Badan Pusat Statistik Aceh

Kesempatan kerja bagi penduduk laki-laki lebih luas terbuka dibandingkan penduduk perempuan. Banyak penduduk usia sekolah dasar (7-15 tahun) yang tidak melanjutkan sekolah karena alasan keuangan, memilih untuk bekerja di berbagai sektor informal. Pada umumnya, anak laki-laki lebih mudah beradaptasi dan mendapatkan pekerjaan yang bervariasi, seperti sebagai buruh di pasar, pengemis atau pengamen. Sedangkan anak perempuan dianggap kurang kuat, ataupun kurang tangguh untuk bekerja dijalanan. Oleh karena itu, perempuan lebih banyak berada di sekolah ketimbang laki-laki.

Meningkatnya level pendidikan kaum wanita menunjukkan bahwa dunia pendidikan memang tidak mengenal diskriminasi dalam memberikan kesempatan memperoleh pendidikan bagi para warga masyarakat. Salah satu konsekuensi logis dari yang diraih oleh para wanita di bidang pendidikan ialah keinginan memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya dengan berkarya dalam berbagai bidang yang sesuai dengan pengetahuan dan keterampilannya itu (Siagian, 2004: 83-84).
Perempuan Aceh dan Dunia Kerja

Pada kenyataannya,  peningkatan jumlah peserta pendidikan ini tidak sebanding dengan keterserapan di dunia kerja. Ketika perempuan keluar dari institusi pendidikan, mereka mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Hal ini terjadi karena beberapa hal, Pertama, pertumbuhan industri yang lambat dan tidak selaras perkembangan jumlah penduduk. Provinsi Aceh masih berbenah dalam mengembangkan perindustrian daerahnya. Saat ini, praktis tidak ada industri daerah yang dapat diandalkan sebagai sumber pencaharian masyarakat Aceh. Pergerakan bisnis terhambat setelah bencana tsunami yang menghancurkan banyak potensi daerah. Provinsi Aceh masih sulit bangkit dari keterpurukan tersebut. Bisnis kecil yang diandalkan masyarakat Aceh adalah kedai kopi dan usaha kecil yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, banyak perempuan yang telah menamatkan pendidikan harus kembali ke ladang dan bercocok tanam. Dinas Pendidikan Provinsi Aceh juga menyayangkan jumlah lulusan akademi keperawatan yang jumlahnya terus meningkat, namun lapangan kerja tidak kunjung meluas.

Kedua, perempuan masih dianggap memiliki kompetensi dibawah laki-laki, sehingga perempuan acap kurang diprioritaskan sebagai karyawan. Hal ini tampak dalam pemilihan anggota dewan DPRA. Perempuan belum mampu untuk memanfaatkan kesempatan berkarya di berbagai posisi penting di ranah legislatif. Kuota 20 persen yang ditetapkan pemerintah untuk mengisi posisi anggota dewan, hanya dapat dipenuhi oleh 4 perempuan dari 69 anggota (5,79 persen).

Perempuan juga masih belum dapat mengambil posisi pengambil keputusan di berbagai institusi pemerintahan. Diantara SKPD yang ada di Aceh, baru Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dipimpin oleh wanita.

Kurangnya pencapaian perempuan di bidang pekerjaan bukan disebabkan rendahnya kualitas pengetahuan perempuan, namun terletak pada permasalahan mental. Mengapa dengan pencapaian akademik yang luar biasa, perempuan belum mampu untuk meraih posisi-posisi yang sepantasnya?




Perempuan dan Self Efficacy

Permasalahan mental memang bukan main-main. Anda adalah yang anda pikirkan, begitulah gambaran paling tepat untuk menjelaskan pentingnya pikiran dalam membentuk perilaku seseorang.

Perempuan tidak pernah lepas dari sejarah kelam dimana perbudakan dan penindasan terhadap kaumnya. Meskipun jaman telah memberikan banyak kesempatan bagi perempuan untuk memilih cara-cara baru dalam bertahan hidup, budaya tidak membiarkan perempuan melupakan masa lalunya. Sebagaimana sebuah pengalaman traumatis, hal ini mengikat sebelah kaki perempuan dan tidak membiarkannya berlari lepas.

Tradisi inilah yang mengajarkan cara hidup manusia sehingga Belzhak menggambarkan posisi wanita dalam  bukunya yang berjudul “Psikologi Perkawinan” sebagai berikut:

“Jangan pedulikan keluhan, jeritan dan nestapa wanita. Sebab, alam sendiri yang membuat wanita dibawah subordinasi laki-laki, dan alamlah yang menginginkannya agar mengurusi anak-anak serta menghadapi deraan dan kejahatan kaum laki-laki. Jangan menuduh keja dan kasar terhadap diri sendiri. Sebab di dalam undang-undang berbagai bangsa yang kita anggap maju, kaum laki-laki adalah pelekak hukum yang menentukan nasib wanita dengan bersandar pada ungkapan sinis yang berbunyi ‘ Celakalah kaum lemah dan kaum yang kalah.’”

Ungkapannya ini ditujukan kepada kaum laki-laki untuk menegaskan dominasi atas perempuan. praktek ini terjadi di berbagai belahan dunia menyebabkan kaum wanita menjadi merasa tersisihkan. Meskipun begitu, memang praktek ini tidak bisa dijadikan generalisasi karena tidak semua laki-laki senang menginjak dan mendiskriminasi perempuan.

Meminjam teori Freud, perempuan merasa bahwa laki-laki menjadi makhluk dengan otoritas tinggi. Oleh sebab itu, perempuan pun membangun persepsi bahwa ia terinjak dan selalu menjadi korban. Freud menjelaskan hal ini sebagai rasa iri wanita terhadap pria (Tong,1998:135).

Pada prakteknya, banyak kaum wanita yang tidak berani mengambil kesempatan untuk mendapatkan posisi penting karena merasa kurang percaya diri. Self efficacy dalam diri wanita dibentuk oleh pengalaman hidup dimana sepanjang perjalanannya ia ditempatkan sebagai makhluk kelas dua.

Self efficacy diartikan Bandura sebagai keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif (Santrock,2010: 286). Bandura juga menyatakan bahwa self efficacy berpengaruh terhadap perilaku. Self efficacy punya kesamaan dengan motivasi untuk menguasai dan motivasi intrinsik (Santrock, 2010: 523). Jadi secara umum, Self Efficacy diartikan sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya. Untuk meyakini kemampuannya, seorang harus memiliki konsep diri yang positif.

Konsep diri adalah konstruksi multi-dimensional yang mengacu pada persepsi seseorang terhadap dirinya yang terkait dengan berbagai karakteristik tertentu, misalnya peran dan gender (Bong & Clark,1999:140). Orang dengan konsep diri positif cenderung memiliki keyakinan bahwa ia mampu mencapai berbagai hal.

Gender dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam pembentukan konsep diri. Penelitian terdahulu telah menemukan perbedaan konsep diri di berbagai budaya yang menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih independen sedangkan perempuan lebih memilih interdependen (Cross & Madson,1997). Namun, pada penelitian lain, hal ini tidak signifikan, akan tetapi perbedaan laki-laki dan perempuan terdapat pada interdependensi relational dan kolektif. Laki-laki cenderung memilih berada dalam kelompok besar, namun perempuan lebih suka berinteraksi secara diadik (satu lawan satu) (Boesch & Boesch-Achermann,2000).

Bandura menyimpulkan ada faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan self efficacy dalam diri seseorang, yaitu:

a. Budaya

Self Efficacy dipengaruhi melalui nilai, kepercayaan dan proses  pengaturan diri yang dijadikan landasan untuk menilai self efficacy, sekaligus sebagai konsekuensinya. Rendahnya self efficacy perempuan di Aceh sangat dipengaruhi budaya setempat yang berlaku. Masyarakat Aceh menjunjung tinggi budaya patrilineal yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kehidupan. Anak lelaki dianggap sebagai anak emas yang diberikan keleluasaan untuk bertindak dan memilih peran-peran yang diinginkannya. Bahkan ketika orang tua harus memilih anak yang akan melanjutkan sekolah, mereka cenderung memprioritaskan pendidikan bagi anak lelakinya dibandingkan anak perempuan. Dengan adanya privilege tersebut, lelaki Aceh cenderung malas dan lebih suka melakukan hal-hal yang kurang produktif. Hal ini menjadi kebiasaan karena budaya menerima perilaku tersebut sebagai suatu kewajaran. Bandingkan dengan perempuan yang harus bekerja di sawah dan tetap mengurus rumah tangga. Perempuan Aceh memang terkenal kuat dan pantang menyerah, mereka menjadi tulang punggung keluarga meskipun tanpa mendapatkan penghargaan yang pantas.

b. Gender

Bandura meyakini bahwa wanita lebih tinggi self efficacy nya dalam menjalankan peran. Sebagaimana berbagai penelitian telah membuktikan bahwa wanita mampu melakukan banyak kegiatan dalam satu waktu (multi tasking), Bandura menegaskan bahwa hal ini menjadikan wanita memiliki self efficacy yang tinggi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

Dengan self efficacy tersebut,  perempuan Aceh berjuang bekerja di luar rumah dan tetap menjalankan tugasnya mengurusi rumah tangga. Disisi lain, para suami dan bapak tidak memiliki tanggung jawab sebesar itu. Mereka mudah saja bergaul di warung kopi dan sulit diajak bekerja sama mengelola rumah tangga dan anak.

c. Sifat dari tugas yang dihadapi

Normalnya orang mengukur kemampuannya dalam menyelesaikan tugas dari standar potensi yang dimilikinya. Ketika menghadapi tugas yang dianggapnya sulit, seseorang menjadi kurang percaya diri dan memiliki self efficacy yang rendah.

Sebagai bagian dari sepertiga perempuan Indonesia yang bekerja, perempuan di Aceh juga mengalami sosialisasi budaya  yang disebut Aida Vitaya S. Hubeis (2010:382) sebagai penjinakan (domestifikasi), yaitu mengurus rumah tangga, suami dan anak. Ketika bekerja di luar rumah, mayoritas perempuan di Aceh diproyeksikan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan kemampuan konseptual seperti bertani.

d. Insentif eksternal

Seseorang akan meningkatkan self efficacy jika ia mendaptakan insentif dari luar dirinya. Ketika seorang perempuan menemukan bahwa dunia kerja tidak bersahabat dengannya, maka ia cenderung kehilangan motivasi berjuang dan memilih pekerjaan-pekerjaan yang “aman” secara normatif, seperti pembantu rumah tangga atau pekerja tani.

e. Status atau peran individu

Status dan peran memberikan dorongan bagi seseorang dalam mengumpulkan self efficacy nya. Orang dengan status tinggi (misalnya pimpinan) atau peran penting (misalnya ahli) akan memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak berstatus tinggi atau memiliki peran kurang penting.

Rendahnya kepercayaan diri perempuan tidak terlepas dari pembandingnya, yaitu kaum laki-laki. Mary F. Rogers (2009:158) menulis bahwa:

Tidak seperti kaum pria yang kesuksesannya bisa diperoleh hanya dengan selembar nota cek bernilai ratusan juta, kedudukan tinggi, atau nama terkenal, kaum perempuan yang menginginkan kesuksesan harus memberi perhatian saksama kepada tubuhnya. Tidak peduli prestasi apa pun yang mereka capai, kaum perempuan harus tetap memperhatikan tubuhnya agar tampak benar-benar sukses.

Nah, permasalahan tubuh perempuan selalu menghantui kepercayaan diri perempuan. perempuan mempercayai bahwa ia tidak lebih baik dari lelaki.

Sehebat apapun perempuan, mereka selalu merasa kalah ketika laki-laki sering mendapatkan penghargaan yang diidamkannya.

f. Informasi tentang kemampuan diri

Informasi positif akan meningkatkan self-efficacy, sedangkan informasi negatif yang diterima seseorang dapat menurunkan self efficacy-nya. Perempuan Aceh adalah pekerja keras, yang cenderung kurang memiliki waktu untuk bergaul sehingga kurang informasi dalam bertindak dalam skala yang lebih luas dampaknya. Lelaki memiliki waktu untuk nongkrong dan berkumpul di warung kopi, sedangkan perempuan sibuk di sawah dan di rumah. Akibatnya perempuan tidak memiliki cukup waktu untuk bersosialisasi.

Dengan begitu, jelaslah bahwa rendahnya self efficacy perempuan Aceh bukan disebabkan rendahnya kualitas individu namun karena terdisposisikan oleh budaya lokal.  Namun, terlihat adanya pergeseran dalam pola mental masyarakat Aceh yang mulai menyadari bahwa perempuan lebih mudah didorong untuk menyelesaikan pendidikan ketimbang laki-laki. Kehadiran sarana dan prasarana pendidikan yang lengkap, informasi melalui berbagai media yang mengubah cara orang tua mendidik anaknya, telah memberikan peluang besar bagi perempuan untuk mencapai pendidikan tinggi. Apalagi, setelah diketahui bahwa prestasi akademik perempuan di Aceh sangat memadai dan semestinya mampu digunakan untuk bersaing di dunia kerja.
Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

Pencapaian pendidikan bagi perempuan di Provinsi Aceh tidak selaras dengan pencapaian mereka di dunia kerja. Meskipun semakin banyak perempuan mendapatkan kesempatan bersekolah, mereka kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan yang sesuai setelah lulus. Lowongan pekerjaan sedikit dan perempuan memilih mengalah pada kaum laki-laki ketika bersaing mendapatkan posisi-posisi tertentu. Hal ini disebabkan oleh rendahnya self efficacy yang dimiliki perempuan yang dibangun oleh budaya lokal di Aceh. Perempuan dijadikan warga kelas dua dan kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan laki-laki. Dalam praktek pendidikan, laki-laki diprioritaskan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, meskipun pada kenyataannya perempuan lebih giat, tekun dan bersemangat dalam menimba ilmu. Meskipun begitu, rasio jumlah perempuan yang memenuhi bangku-bangku sekolah terus meningkat semenjak bencana Tsunami menunjukkan jumlah penduduk perempuan sedikit lebih banyak ketimbang jumlah penduduk laki-laki.

Perempuan di Aceh juga sudah mampu mencapai pendidikan tinggi terutama yang terkait dalam bidang keperawatan, pendidikan kedokteran, dan ekonomi. Namun, kurangnya lowongan pekerjaan di Aceh menyebabkan rendahnya keterserapan tenaga kerja wanita sesuai dengan bidang keahliannya. Secara psikologis, faktor kurangnya self efficacy menyebabkan perempuan sulit berjuang di sektor formal meninggalkan persaingan hanya untuk kaum laki-laki. Perempuan kurang percaya diri untuk bersaing dengan laki-laki di sektor yang didominasi kaum lelaki, misalnya di bidang politik.

Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka perlu direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan di sekolah, namun perlu disasarkan pada pengubahan pola pikir masyarakat mengenai fungsi pendidikan.

  2. Pendidikan yang diberikan hendaknya meningkatkan perhatian terhadap soft skill seperti kepercayaan diri, kemampuan menempatkan diri, penghargaan terhadap orang lain, moral dan keteguhan dalam mengambil keputusan.

  3. Pemerintah sebagai pemilik kewenangan akan penyelenggaraan pendidikan harus menjadi penengah dan fasilitator dalam mengembangkan pendidikan yang adil, terutama bagi kaum perempuan.

  4. Peningkatan lapangan pekerjaan bagi kaum perempuan yang sesuai dengan keterampilannya.

Daftar Pustaka

Buku

Boesch, C, and H Boesch-Achermann. The chimpanzees of the Tai forest. New York: Oxford University Press, 2000. N. pag. Print.

Hubeis, Aida V. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB Press, 2010. 382.

Zakaria, Ibrahim. Psikologi Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002. N. pag. Print.

Rogers, Mary F. Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme. Yogyakarta: Relief, 2009. 158. Print.

Santrock, John W. Psikologi Pendidikan. 2nd ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. N. pag. Print.

Siagian, Sondang P. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2004. 83-84. Print.

Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought. 2nd ed. Colorado: Westview Press, 1998. N. pag. Print.

Jurnal

Bandura, Albert. "Self-efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral Change." Psychology Review 84 (1997): 191-215. Print.

Bong, M, and R E. Clark. "Comparison between self-concept and self-efficacy in academic motivation research." Educational Psychologist 34.3 (1999): 139-53. Print.

Cross, Susan E., and Laura Madson. "Models of the self: Self-construals and gender." Psychological Bulletin 122.1 (1997): 5-37. Print.

Dokumen Resmi

Badan Pusat Statistik, . Aceh Dalam Angka. Aceh: BPS, 2010. N. pag. Print.

Badan Pusat Statistik, . Perkembangan Beberapa Indikator Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta: BPS, 2010. N. pag. Print.

Wawancara

wawancara dengan Kasub Bina Sarana Dinas Pendidikan Provinsi Aceh

0 notices:

Post a Comment