Kebiasaan membuang sampah

Pada suatu hari seorang anak melewati rumah tetangganya dengan santai melemparkan sejumput kertas sobekan di halaman tetangga tersebut. Terang saja sang tetangga menegur, “Bagaimana pendapatmu jika saya membuang sampah di depan rumah kamu?”

Sejak kecil sekolah selalu mempropagandakan hidup bersih dengan sloga “Buanglah sampah pada tempatnya”. Tapi hanya sedikit yang berhasil mengubah perilaku seorang anak. Kenapa? Karena setelah ia keluar dari sekolah, ia melihat orang tuanya, pejalan kaki, bapak di kendaraan umum, atau ibu yang berbelanja di pasar membuang sampah seenaknya. Si anak pun bingung. Mana yang benar? Apakah ia harus mengikuti tuntunan sekolah, padahal pada kenyataannya banyak orang tidak mematuhinya.

Anak usia sekolah, menurut Kohlberg, berada pada tahap pembentukan moral Prakonvensional. Artinya ia menerima sebuah konsep moral dari informasi di luar dirinya. Ia mengetahui kebaikan dan keburukan dari orang lain di sekelilingnya. Oleh karena itu, pada usia 4 hingga 10 tahun, anak-anak banyak menggunakan cara pembelajaran dengan meniru.

image
Lalu, bagaimana kita menjelaskan kepada generasi muda ketika orang dewasa pun tidak bertingkah sepatutnya? Membuang sampah itu masalah gampang. Di kantor saya, setiap 5 meter ditempatkan keranjang sampah besar *saking besarnya, sudah banyak cewek cantik tersandung…makanya jangan pake meleng jalannya, mbak*

Tapi, apakah sarana saja sudah cukup untuk mendukung hidup bersih? Tidak!

image

Lihat saja apa yang terjadi pada kantor saya pagi ini. Di Lorong Nusantara 1 ini tadi malam dipenuhi para wartawan yang sibuk mengetik berita untuk koran/majalahnya. Namun, pagi ini hanya sisa-sisa perjuangan mereka yang dapat kita saksikan.

Luar biasa, ya!

image

Saya yakin tidak ada maksud wartawan untuk menyampah di gedung rakyat, kan mereka juga termasuk rakyat. Pasti mereka sebenarnya orang-orang baik yang hanya menjalankan tugas menyampaikan kebijakan yang ditelurkan di gedung parlemen kepada masyarakat luas.

image

Namun, “baik” tidak ada hubungannya dengan perilaku tidak terdidik. Seseorang bisa saja berpikiran positif, tapi jika tidak memiliki pengetahuan, maka penyimpangan dapat terjadi. Kita mengharapkan orang-orang dewasa terdidik untuk bersikap secara manusiawi: mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Keberhasilan pendidikan itu bukanlah karena seseorang memegang gelar sarjana. Tapi, dalam Psikologi belajar, artinya mengubah perilaku. Dari yang buruk menjadi baik. Dengan begitu, seorang yang terdidik adalah yang mampu berperilaku lebih baik daripada sebelumnya.

Bukankah menurut Havigurst, seorang yang memasuki usia dewasa mudamemiliki tugas perkembangan menunaikan kewajiban sebagai warga negara?

Terus, apa yang menyebabkan kejadian diatas bisa terjadi? Saya cuma bisa mengambil perspektif psikologi dan memastikan masih banyak tugas perkembangan yang masih menjadi PR bagi pelaku.:)

0 notices:

Post a Comment