Peran Pemerintah dalam pemeliharaan Sastra Indonesia



Dipublikasikan dalam Info Singkat 2011.

Berdasarkan amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara bertujuan untuk membangun peradaban bangsa dengan pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan melalui buku sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umum. Dalam melaksanakan tugas tersebut, negara harus dapat menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk memastikan terbukanya akses terhadap kepemilikan pengetahuan. Salah satu cara intervensi yang dilakukan pemerintah adalah memperkuat perpustakaan. Untuk kedepannya, perpustakaan diharapkan dapat menjadi sumber reliable untuk melakukan transfer informasi. Sastra adalah bukti peradaban  masyarakat. Pengetahuan dari sastra leluhur menunjukkan sejarah yang berharga yang membangun jati diri bangsa. Oleh karena itu, situs bersejarah sastra Indonesia perlu di pelihara dan dikembangkan untuk melanjutkan visi misi bangsa kepada generasi berikutnya.

Namun, kenyataannya tidak semudah yang digoreskan dalam peraturan-peraturan terbitan Pemerintah. Kasus Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Taman Ismail Marzuki merupakan cerminan rendahnya kepedulian Pemerintah terhadap nilai-nilai perjuangan sastra Indonesia. Selama ini, PDS berada dibawah tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Menurut lampiran SK SK Gubernur  no 215/ 2011 ini  disamakan golongannya dengan Sanggar Roda, Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (KOMPI), Yayasan PRAVITASARI  dan Teater Tanah Air.  Semula, pada tahun-tahun sebelumnya  PDS HB Jassin berada segolongan dengan Gedung Kesenian Jakarta, Yayasan Lembaga Kebudayaan Betawi, Institut Kesenian Jakarta, maupun Gedung Kesenian Wayang.  Setiap institusi diatas mendapatkan dana tahunan sebesar Rp. 200 juta hingga Rp. 500 juta. Akan tetapi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya mengalokasikan Rp.50 juta untuk pemeliharaan tahun 2011 ini. Kebijakan ini tentu sangat mempengaruhi kelangsungan pemeliharaan PDS.

Arti penting PDS mungkin tidak banyak dipahami oleh Pemerintah. Sebagai pionir dalam perkembangan sastra di tanah air, koleksi di PDS merupakan acuan, bahan penelitian dan pijakan pergerakan sastra di Indonesia. Saat ini PDS memiliki koleksi berupa 18.000-an buku fiksi, 12.000-an non-fiksi, 507 referensi, 812 buku naskah drama, 875 biografi pengarang, 16.774 kliping, 517 makalah,630 skripsi dan disertasi, 732 kaset rekaman suara, 15 video kaset rekaman, dan 740 foto pengarang (suara merdeka,23 Maret 2011). Pusat Dokumentasi Sastra ini dimulai sebagai dokumentasi pribadi H.B. Jassin, sang tokoh sastra yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia. Jassin menggeluti pendokumentasian sastra ini dengan dana dan tenaga yang serba terbatas sejak ia mengembangkan minatnya akan dunia sastra dan pustaka pada tahun 1930-an, ketika usianya belum lagi 30 tahun. Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin didirikan pada 28 Juni 1976. Pemeliharaan PDS diprakarsai oleh Gubernur Ali Sadikin yang mengalokasikan tempat  di Taman Ismail Marzuki. Sejak tahun anggaran 1977/1978, Pemerintah Daerah DKI Jakarta memberikan subsidi kepada yayasan ini yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Dokumentasi Sastra. Sementara itu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga ikut mendukung pembiayaan lembaga ini tahun anggaran l983/l984. Ada pula sumbangan-sumbangan lain dari para donatur tidak tetap.

Rendahnya perhatian terhadap PDS menunjukkan kecilnya minat Pemerintah untuk menyambung perjuangan pendahulu kita dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Keterampilan sastra merupakan proyeksi kemampuan masyarakat dalam memahami pengetahuan. Tidaklah mengherankan jika menurut perhitungan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2009, Indonesia menempati posisi ke 58 dari 66 negara yang diukur tingkat kemampuan siswa dalam membaca. Kualitas pembelajaran membaca negeri ini ternyata berada dibawah rata-rata negara lain. Hal ini menunjukkan masih belum optimalnya pendidikan di Indonesia sebagai sarana formal untuk mengenalkan aksara pada masyarakat. Padahal pendidikan merupakan focus penting dalam setiap perencanaan pembangunan kita yang diterjemahkan oleh pemimpin bangsa dengan pencanangan bulan Mei sebagai buku nasional oleh Presiden Suharto. Kemudian, ditetapkan pula Bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan pada tanggal 14 September 1995 di Istana Negara, Jakarta, penetapan Gerakan Wakaf Buku Nasional pada tanggal 7 Desember 1995 di Pusat Konvensi Hilton Jakarta, dan peresmian Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM) pada tanggal 31 Mei 1996. Hari Aksara, Hari Kunjung Perpustakaan, Bulan Gemar Membaca, dan Wakaf Buku dicanangkan pula pada tanggal 14 September 1995. Pencanangan, peresmian, dan kongres itu dimaksudkan agar segenap bangsa Indonesia memberikan perhatian terhadap membaca sebagai suatu unsur dari budaya bangsa. Kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerukan kepada segenap komponen bangsa Indonesia untuk mensukseskan Gerakan Membaca Nasional pada tanggal 12 November 2003. Terakhir pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat pada tanggal 17 Mei 2006.

PDS dapat dikategorikan sebagai perpustakaan yang bukan hanya menyimpan arsip dan buku bersejarah, namun juga menampung bukti evolusi sastra Indonesia yang tergolong benda cagar budaya. Oleh karena itu pengelolaannya telah dipagari oleh undang-undang sebagai berikut. Pertama, Pasal 7 ayat 1b Undang Undang no. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan , yang menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat. Kemudian, Pasal 31 Undang-undang no 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan yang menjelaskan tanggung jawab Pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana untuk pemeliharaan arsip. Untuk itu, Pasal 98 ayat (3) Undang undang no. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjelaskan:

Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Kompensasi Cagar Budaya dengan memperhatikan prinsip proporsional.

Untuk mengatasi kemelut ini, maka perlu tindakan tegas dari Pemerintah Pusat untuk mengambil alih pengelolaan PDS HB. Jassin mengingat koleksinya merupakan benda cagar budaya tingkat nasional, sehingga sudah sepantasnya berada dibawah kewenangan pusat.

daftar Pustaka:

PDS HB Jassin dan Penyelamatan Sejarah. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/03/23/140906/PDS-HB-Jassin-dan-Penyelamatan-Sejarah. Diakses tanggal 29 Maret 2011

Undang undang no. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Undang undang no. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan

Undang undang no. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan

0 notices:

Post a Comment