Literacy in a Digital world: Fase Trial Error


Peringatan Hari  Aksara Internasional tahun ini mengusung tema Literacy in Digital world. Di era digital masa ini, mau tidak mau kita harus berhadapan dengan teknologi dan informasi elektronik. Digitalisasi telah merambah ke berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Penggunaan teknologi digital dalam pendidikan masih menjadi pro kontra.

Kebetulan tahun ini saya melakukan penelitian mengenai “Perilaku Membaca Mahasiswa di Era Digital” Membaca telah mengalami perkembangan makna seiring dengan perubahan jaman. Membaca bukan sekedar mengenali huruf, tetapi juga memaknai dan memahami isinya. Di era dimana hampir semua orang memiliki gawai ini, membaca memasuki tahapan bahwa sumber bacaan tidak hanya berbentuk barang cetakan, tapi juga dalam format elektronik. Sekarang ini semakin banyak konten elektronik mendidik yang beredar, menunggu pembaca untuk mengunduh dan membacanya. Jurnal dalam jaringan begitu mudah dicari, majalah ilmiah dan koran dapat dilanggan melalui gawai, bahkan Direktur Pembelajaran Kementerian Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Dr. Paristiyanti Nuwardani, MP menyatakan bahwa Kemristekdikti juga sudah menyebarkan buku teks elektronik ke berbagai perguruan tinggi.
Di era digital ini sumber bacaan saja tidak cukup, akses internet menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan. Terhubung dengan dunia maya di kota besar seperti Jakarta tentu bukan hal yang sulit. Akan tetapi, ini menjadi tantangan bagi mahasiswa di luar Pulau Jawa. Kementerian Telekomunikasi dan Informatika mengakui bahwa jaringan dan layanan telekomunikasi di Indonesia masih berpusat pada daerah-daerah yang “menguntungkan”, daerah dimana penyelenggara telekomunikasi menganggap investasi jaringannya akan kembali dalam waktu yang wajar. Hal tersebut mengakibatkan ketimpangan digital di Indonesia masih menjadi permasalahan dalam upaya menciptakan konektivitas nasional yang terintegrasi.* Jadi, meskipun jumlah bacaan elektronik sudah semakin meningkat, jika tidak dapat diakses maka tidak ada artinya.

Di sisi lain, kehadiran perangkat komunikasi yang canggih tidak semerta-merta meningkatkan perilaku baca. Kebanyakan mahasiswa sekarang hanya membaca ketika terpaksa, yaitu saat diberi tugas oleh dosen ataupun ketika menyusun skripsi. Membaca bukanlah sebuah kegemaran. Memang menumbuhkan kegemaran tidak bisa diserahkan pada 4 tahun masa belajar di perguruan tinggi. Ini adalah bibit yang ditanam sejak pendidikan yang mendahuluinya. Jika pada masa pendidikan dasar dan menengah, ia sudah diajarkan untuk senang membaca, maka membaca akan menjadi kebiasaan di masa kuliah. Sebaliknya, jika membaca merupakan kegiatan yang tidak menyenangkan, maka ia tidak akan suka membaca ketika menjadi mahasiswa.

Terhubungnya mahasiswa dengan internet seringkali menjadi buah simalakama. Meskipun di internet kita akan menemukan banyak sumber bacaan elektronik, namun kebanyakan mahasiswa lebih tertarik untuk berselancar di media sosial. Diagram di bawah disusun berdasarkan rata-rata jawaban 34 mahasiswa Universitas Tanjungpura dan Universitas Hasanuddin ketika ditanya berapa jam yang dihabiskan di media sosial dan untuk membaca buku.

Kondisi ini patut disayangkan karena internet dan gawai dapat memberikan alternatif media edukasi bagi mahasiswa. Akhirnya, penting diingat adalah gawai dan segala kemudahannya hanyalah alat yang dapat berbuah positif maupun negatif tergantung dari pemakainya. Jadi, sebelum menyalahkan gawai dan internet, perlu ada upaya untuk menumbuhkan kebiasaan membaca sejak dini. Tugas ini tidak saja beban bagi para pendidik di institusi pendidikan, namun juga orang tua dan masyarakat pada umumnya.

Masa ini merupakan transisi, dimana orang tua/dosen masih mencari pola terbaik untuk menumbuhkan kebiasaan membaca di era digital. Menjauhkan anak dari gawai tidak menjamin ia menjadi suka membaca. Namun, sikap permisif dalam penggunaan gawai tanpa kontrol juga harus dihindari. Selagi anak tenggelam dalam keasyikan berinternet, orang tua dan dosen juga harus ikut berkejaran dengan perkembangan teknologi dan berupaya melibatkan kesenangan tersebut dalam proses pembelajaran, sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Nasaruddin Salam dari Unhas ketika ia tidak melarang penggunaan handphone dalam perkuliahan. Malahan, ia memberikan bacaan pada awal perkuliahan dan memastikan semua mahasiswa memilikinya di gawai mereka. Kemudian saat mengajar ia akan melontarkan pertanyaan dan mahasiswa dapat mengecek jawabannya dari bahan kuliah yang telah diunduh di awal.

Lain lagi dengan Dr. Aswandi dari Universitas Tanjungpura yang beranggapan membaca dari buku yang tercetak lebih efektif dibandingkan dengan bacaan elektronik. Oleh karena itu, ia selalu menyuruh mahasiswa memiliki salinan buku yang akan diajarkannya. Ia juga meminta mahasiswa untuk menuliskan tugas mereka dengan tulisan tangan untuk menghindarkan plagiarisme.
Lalu, metode mana yang kira-kira lebih cocok untuk mahasiswa? 

 Referensi

* Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika. Laporan Kinerja 2016. Kementerian Komunikasi dan Informatika



0 notices:

Post a Comment