World’s Suicide Prevention Day: Apa kabar kebijakan Keswa Indonesia?


Lebih dari 800.000 orang bunuh diri setiap tahun. WHO mencatat pada 2010 angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,8 per 100.000 jiwa atau sekitar 5.000 orang per tahun. Kemudian pada 2012, estimasinya meningkat jadi 4,3 per 100.000 jiwa atau sekitar 10.000 per tahun. Oleh karena itu, sejak tahun 2003 WHO mencanangkan tanggal 10 September sebagai World Suicide Prevention Day (Hari Cegah Bunuh Diri Sedunia). Pada tahun ini peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia mengambil tema  “Mencegah Bunuh diri: Menjangkau dan Menyelamatkan Hidup”.
  

Bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua kawula muda di dunia saat ini. Bunuh diri diakibatkan kehilangan kontrol individu terhadap akal sehatnya. Kebanyakan pelaku bunuh diri didasari kondisi depresi yang tidak bisa ditanggungnya. Menurunnya kualitas kehidupan merupakan sumber stres yang membuat manusia kehilangan kontrol atas kesehatan jiwanya. Oleh karena itu, angka bunuh diri merupakan salah satu indikator seberapa serius permasalahan kesehatan jiwa. Dengan kata lain, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) mengalami tingkat disabilitas dan motalitas yang tinggi secara tidak proporsional.

Pencegahan bunuh diri merupakan salah satu aksi yang terangkum dalam Mental Health Action Plan 2013-2020. Indonesia sendiri setelah mengesahkan Undang Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa belum menempatkan kesehatan jiwa sebagai prioritas dalam layanan kesehatan. Apa saja yang menghambat?

Bunuh Diri dan Gangguan Jiwa di Indonesia


Menurut dr. Eka Viora, bunuh diri merupakan masalah yang kompleks karena tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal, karena merupakan interaksi yang kompleks dari faktor biologik, genetik, psikologik, sosial, budaya dan lingkungan. Salah satu faktor penting yang menyebabkan bunuh diri adalah penggunaan obat terlarang dan alkohol. Dalam perhitungan WHO, 1 dari 4 orang yang melakukan bunuh diri terdeteksi alkohol dalam darahnya. Risiko lain yang mendorong bunuh diri adalah sejarah bunuh diri, penyakit kejiwaan, atau penyalahgunaan zat dalam keluarga; usaha bunuh diri sebelumnya; pengalaman penelantaran anak di keluarganya; isolasi; kehilangan yang signifikan, misalnya pekerjaan, hubungan, atau orang yang disayangi; perasaan tanpa harapan; mudahnya akses terhadap senjata; kecenderungan agresif; dan buruknya kontrol impuls.

Mereka yang menderita depresi memiliki kecenderungan untuk membunuh diri atau merencanakan bunuh diri. Depresi merupakan suatu bentuk gangguan emosi dimana terlihat adanya perasaan putus asa yang mendalam, perasaan dirinya tidak ada harganya(Gunarsa & Gunarsa, 2012). Secara historis di Barat, depresi adalah gangguan jiwa yang paling tepat ditangani dengan cara-cara psikologis, seperti psikoterapi (Tsai & Chentsova – Dutton, 2014). Sebaliknya, orang timur belum menganggap depresi (dan kebanyakan gangguan jiwa) sebagai bagian dari masalah medis.

Bunuh Diri dan Kemiskinan

Menurut WHO, pada tahun 2012, 75% kasus bunuh diri terjadi di negara berpenghasilan sedang dan rendah. Sebagai negara berpenghasilan menengah kebawah, Di Indonesia sendiri, kasus bunuh diri banyak dilakukan oleh mereka yang berada di garis kemiskinan. Hal ini disebabkan karena tidak kuat menahan beban hidup.

Di Indonesia belum ada angka pasti mengenai jumlah bunuh diri yang terjadi. Namun, data parsial sedikit bisa menggambarkan bagaimana tren bunuh diri yang terjadi. Misalnya seperti yang dirilis merdeka.com bahwa di Solo terjadipeningkatan angka bunuh diri dari 44 kasus di tahun 2014 menjadi 55 kasus hingga pertengahan tahun 2015 ini.

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Dalam laporan bulanan Data Sosial Ekonomi BPS untuk bulan Agustus 2015, disebutkan bahwa jumlah penduduk miskin pada September 2014 sebanyak 27,73 juta orang (10,96 persen), berkurang 0,55 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2014 yang sebesar 28,28 juta orang (11,25 persen). Sementara untuk ketimpangan pengeluaran penduduk yang diukur dengan Gini Rasio pada September 2014 tercatat sebesar 0,41.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia meliputi sekitar 40% dari populasi yang pada saat melesunya perekonomian di tahun 2015 ini semakin berkurang daya belinya. Seperti yang disampaikan oleh Peneliti Smeru, Asep Suryahadi,  menurut data TNP2K pengeluaran kelompok bawah hanya 17%. Jauh jika dibandingkan dengan 48.55% porsi kelompok masyarakat atas.

Berkurangnya daya beli masyarakat miskin menimbulkan ketidakpuasan jika mereka membandingkan diri dengan golongan masyarakat yang mampu. Mereka juga penasaran ingin merasakan apa yang dapat dinikmati oleh orang berada. Rasa ingin tahu, sebagaimana yang ditulis Edmund Burke, adalah salah satu afeksi yang paling superfisial. George Loewenstein menambahkan bahwa rasa ingin tahu adalah motif kritikal yang memengaruhi perilaku manusia baik dalam bentuk yang positif maupun yang negatif dalam semua tahapan siklus kehidupan.

Hambatan layanan kesehatan jiwa

Menilik banyaknya masalah bunuh diri di kalangan masyarakat miskin, jelas dibutuhkan layanan kesehatan yang mudah diakses bagi mereka.Fungsi ini ditugaskan kepada puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat I yang tersebar di seluruh kecamatan di Indonesia. Saat ini Kementerian Kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015) mencatat ada   9671 puskesmas di seluruh Indonesia, dimana 3321 di antaranya adalah puskesmas perawatan dan 6350 sisanya berstatus non perawatan. Angka yang berbeda dirilis oleh BPJS Kesehatan dimana hingga tangggal 26 Juni 2015 tercatat ada 9808 puskesmas yang memberikan layanan kesehatan tingkat pertama.

Akan tetapi, permasalahan klasik menyangkut sumber daya manusia puskesmas yang tidak pernah cukup dan sarana prasarana yang kurang memadai telah menjadi momok dalam upaya pelayanan kesehatan dasar di Indonesia. Misalnya, ketika mengunjungi puskesmas di kota Kupang dan Pekanbaru bulan Mei lalu, kami menemukan bahwa pelayanan kesehatan jiwa dasar belum diberikan di puskesmas. Padahal, layanan kesehatan jiwa merupakan salah satu upaya kesehatan yang seharusnya disediakan di tingkat paling bawah. Bahkan dalam penelitian di tahun 2010 ditemukan bahwa 31,8% pasien yang datang ke puskesmas memenuhi diagnosis gangguan kesehatan jiwa[4]. 

Menurut Undang Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa), layanan kesehatan jiwa dasar semestinya dilakukan di puskesmas sebagai fasilitas kesehatan primer. Sesuai dengan fungsi tersebut, maka dalam era JKN Puskesmas ditugasi untuk menyelesaikan 144 penyakit, dimana 2 diantaranya adalah penyakit psikologis. 2 penyakit tersebut adalah BPJS menetapkan 2 penyakit psikiatrik yang harus dilayani di puskesmas[5], yaitu: Gangguan Somatofom dan Insomnia. Kedua penyakit ini sebenarnya dapat dengan mudah dikenali ketika dokter melakukan pemeriksaan. Akan tetapi, dokter yang tidak terlatih atau puskesmas yang tidak memiliki dokter akan melewatkan proses saringan ini.

Kurangnya sumber daya manusia di bidang kesehatan jiwa tidak lepas dari politik anggaran yang tidak berpihak pada layanan kesehatan jiwa. Jika dikalkulasikan, maka biaya yang dikeluarkan untuk menangani ODGJ ini jelas tidak sedikit. WHO menemukan bahwa Gangguan kesehatan jiwa, gangguan neurologis, dan penyahgunaan zat berbahaya secara bersama-sama memberikan sebesar 13% dari beban kesehatan secara global. Sedangkan jika dihitung secara tersendiri, depresi memberikan sumbangan beban sebesar 4.3%.

Tabel Belanja Pemerintah Pusat di Bidang Kesehatan 2010-2014

Tahun
Besar (Triliun Rupiah)
2010
18,8
2011
14,1
2012
15,2
2013
17,6
2014
12,1
                
Sumber: http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/NK%20APBN%202015-Lengkap.pdf


DIPA untuk Pembinaan Kesehatan Jiwa hanya Rp20 Miliar untuk tahun 2014 dan meningkat menjadi Rp24.020.323.000 pada tahun 2015. Akan tetapi, alokasi anggaran yang diinvestasikan untuk membangun SDM yang terlatih tidak berubah, yaitu Rp792.626.000. Melihat perbandingan ini, sulit untuk mempercayai dukungan pemerintah terhadap pelayanan kesehatan jiwa bahkan setelah disahkannya UU Keswa. Permasalahannya, kekurangan SDM selalu menjadi keluhan klasik Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan. UU Keswa yang telah disetujui bersama dengan Komisi IX sedianya berfungsi untuk mendorong peningkatan prioritas di bidang kesehatan jiwa, termasuk penyediaan sumber daya manusia di bidang kesehatan jiwa yang berkualitas dan jumlahnya mencukupi.

Penutup

Sejak disahkannya UU Keswa tahun 2014 lalu, Kementerian Kesehatan belum menunjukkan kerja nyata yang mendorong perbaikan layanan kesehatan jiwa. Sementara jumlah gangguan kejiwaan semakin menjadi masalah yang perlu segera ditangani, kebijakan anggaran tidak berubah dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, Komisi IX perlu mengingatkan langkah konkret upaya kesehatan jiwa yang akan dilakukan Pemerintah.

Komisi IX perlu mendorong Kemenkes untuk mengoptimalkan layanan kesehatan jiwa dasar di fasilitas kesehatan tingkat I karena lebih mudah diakses, murah, dan dapat memfokuskan pada upaya preventif dan promotif. Dengan menggabungkan DIPA antara Pembinaan pelayanan Kesehatan jiwa dengan alokasi Pembinaan kesehatan dasar yang 5x lipat.



Referensi

WHO. 2013. Mental Health Action Plan 2013-2020. Geneva: World Health Organisation
“10 September, Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia” , http://www.depkes.go.id/article/view/201409170003/10-september-hari-pencegahan-bunuh-diri-sedunia.html#sthash.v0P1oxY9.dpuf, diakses tanggal 4 September 2015
Vann, Madeline. “Depression and Suicide — Breaking the Link”, http://www.everydayhealth.com/depression/understanding/suicide.aspx, diakses tanggal 4 September 2015
BPS. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Agustus 2015.
Suryahadi, Asep. Jaminan Sosial Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat. Proceeding. Disampaikan pada diskusi internal Bidang Kesejahteraan Sosial P3Di Sekretariat Jenderal DPR RI tanggal 8 September 2015.
Loewenstein, George.The Psychology of Curiority: A review and reinterpretation. Psychological Bulletin, 1994, Vol 116. No.1:75-98.
Gunarsa, Prof.Dr. Singgih D.  & Gunarsa, Dra. Yulia Singgih D.. 2012. Psikologi Perawatan. Jakart: Penerbit Libri
Tsai, Jeanne L & Chentsova – Dutton,  Yulia . Understanding Depression across Cultures. http://psych.stanford.edu/~tsailab/PDF/Understanding%20Depression%20Across%20Cultures.pdf, diakses tanggal 10 September 2015
"Sepanjang tahun 2015 kasus bunuh diri di Solo meningkat", http://www.merdeka.com/peristiwa/sepanjang-tahun-2015-kasus-bunuh-diri-di-solo-meningkat.html diakses tanggal 10 September 2015
Dan Hidayat, Elly Ingkiriwang, Andri, Evalina Asnawi, Ratna Surya Widya and Djap Hadi Susanto, "Penggunaan Metode Dua Menit (M2M) dalam Menentukan Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer," Majalah Kedokteran Indonesia, 2010: hal 452.
PDMMI, "Daftar Nama Penyakit Yang Harus Dapat Ditangani Di Layanan Primer (Tidak Boleh Dirujuk)," PDMMI, http://pdmmi.org/wp-content/uploads/2014/05/4.-DAFTAR-NAMA-PENYAKIT-YANG-HARUS-DAPAT-DITANGANI-DI-LAYANAN-PRIMER.pdf (diakses tanggal Agustus 28, 2015).
American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.) (Arlington, VA: American Psychiatric Publishing, 2013).

0 notices:

Post a Comment