Sebanyak 37 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia
yang bekerja adalah buruh! Data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Agustus 2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk diatas 15 tahun yang berstatus
buruh/karyawan/pegawai mencapai 42,382,148 jiwa. BPS juga menyampaikan bahwa 46,5 juta orang (40,62 persen) bekerja pada kegiatan formal
dan 68,1 juta orang (59,38 persen) bekerja pada kegiatan informal (BPS, Januari
2015:49). Meskipun jumlah angkatan kerja cukup besar, namun hasil kajian LIPI pada
Februari 2012 menunjukkan bahwa 43,67 pekerja Indonesia berada di bawah garis
kemiskinan.
Rendahnya kesejahteraan pekerja kerah biru ini sangat terkait
dengan keterampilan yang dimilikinya. Seperti yang pernah
dipublikasikan BPS, penyerapan tenaga kerja hingga Agustus 2014
masih didominasi oleh penduduk bekerja berpendidikan rendah yaitu SD ke bawah
sebanyak 54,0 juta orang (47,07 persen) dan Sekolah Menengah Pertama sebanyak
20,4 juta (17,75 persen). Penduduk bekerja berpendidikan tinggi hanya sebanyak
11,2 juta orang mencakup 3,0 juta orang (2,58 persen) berpendidikan Diploma dan
sebanyak 8,3 juta orang (7,21 persen) berpendidikan Universitas. Pendidikan
formal tidak selalu berkaitan dengan keterampilan kerja.
Pendidikan
kita dirancang untuk hanya sekedar mencari nilai yang tinggi, mengisi kepala
peserta didik dengan berbagai teori dan gaya berpikir. Akan tetapi, tidak
banyak pola pembelajaran yang menggambarkan cara kerja dunia luar yang akan
dihadapi peserta didik setelah lulus. Meskipun begitu, tidak dipungkiri bahwa
pendidikan memberikan informasi yang membantu peserta didik membentuk pola
pikir tertentu.
Instansi pendidikan formal tidak
memberikan keterampilan kerja, kecuali sekolah kejuruan.
Sekolah
kejuruan adalah satuan pendidikan yang bertujuan mempersiapkan peserta didiknya
untuk bekerja. Artinya, mereka memfokuskan pada pemahaman keterampilan yang
akan digunakan di dunia kerja. Akan tetapi, menurut BPS, pada Agustus 2014, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk pendidikan
Sekolah Menengah Kejuruan menempati posisi tertinggi yaitu sebesar 11,24
persen, disusul oleh TPT Sekolah Menengah Atas sebesar 9,55 persen, sedangkan
TPT terendah terdapat pada tingkat pendidikan SD ke bawah yaitu sebesar 3,04
persen[1].
Kondisi ini menggambarkan ketidakselarasan sistem pendidikan
dengan kebutuhan dunia bisnis. Untuk menghasilkan tenaga kerja terampil,
Kementerian Ketenagakerjaan sebenarnya sudah memiliki uptd yang bertugas
melatih keterampilan calon tenaga kerja, yaitu Balai Latihan Kerja (BLK).
BLK adalah tempat diselenggarakannya proses pelatihan kerja
bagi peserta pelatihan sehingga mampu dan menguasai suatu jenis dan tingkat
kompetensi kerja tertentu untuk membekali dirinya dalam memasuki pasar kerja
dan atau usaha mandiri maupun sebagai tempat pelatihan untuk meningkatkan
produktivitas kerjanya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. [2] BLK lahir
pertama kali di Solo, Jawa Tengah pada tahun 1947. Pada mulanya BLK-BLK
didirikan hanya di pulau Jawa dan memperoleh bantuan asing. Pendirian BLK di
luar pulau Jawa dimulai baru pada tahun 1957 dengan dibangunnya BLK di Padang,
Sumatera Barat. Seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat atas
peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan kerja, jumlah BLK
meningkat secara pesat dan kini telah berjumlah 182 BLK yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia (Retnaningsih, dkk,2012:14).[3]
Secara
ideal, BLK diselenggarakan untuk menampung para calon tenaga kerja yang terdiri
dari: 1) para pencari kerja/drop out;
2) karyawan pemerintah maupun swasta yang ingin meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilannya; dan 3) mereka yang ingin membuka usaha mandiri (Retnaningsih,
dkk,2012:8). Akan tetapi, hasil penelitian Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data
(p3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI pada tahun 2012 menemukan bahwa banyak BLK
di daerah yang tidak berfungsi disebabkan:
1. Fasilitas yang tidak
memadai untuk mengadakan pelatihan. Peralatan yang dimiliki sudah usang dan
tidak layak pakai.
2. BLK daerah (UPTD) yang tidak mendapat anggaran dari APBN tidak memiliki cukup
dana untuk operasional karena pemerintah daerah tidak memprioritaskan kegiatan
BLK, terutama di daerah yang tidak memiliki industri untuk menyerap calon
tenaga kerja.
3. Kurangnya sumber daya
manusia seperti instruktur yang kompeten. Banyak instruktur yang akan memasuki
masa pension pada tahun 2015, namun pemerintah tidak memiliki generasi
penggantinya.
Sulitnya
BLK di daerah bergerak merupakan dampak dari orde baru. Hartini, dkk
menyebutkan: “Ada perbedaan antara
pengelolaan BLK pada masa orde baru dan masa pemerintahan otonomi daerah. Pada
masa orde baru, pengelolaan BLK dikelola secara sentral dari pusat sehingga
segala sesuatu yang diselenggarakan di daerah senantiasa selaras dengan
kebijakan pemerintah pusat, baik dalam hal dana, sarana, pasarana, dan sumber
daya manusia yang mengelolanya. Dengan pengelolaan yang sentral ini, BLK di
berbagai daerah beroperasi sesuai standar yang ditetapkan, dan banyak pencari
kerja yang terbantu dalam mencari pekerjaan. Berbeda dengan pengelolaan BLK
pada masa orde baru, pada masa pemerintahan otonomi daerah banyak BLK baik di
tingkat provinsi maupun BLK di tingkat kabupaten/kota yang terhenti
aktivitasnya karena tak ada dana, sarana, prasarana serta sumber daya manusia
yang mampu mengelolanya .”
Menurut Badan penelitian,
Pengembangan dan Informasi (Balitfo KemNaker) pada tahun 2014 BLK di Indonesia
sudah berjumlah 276 lembaga. Hingga November 2014 ada 14 UPTP yang ditempatkan
di 12 Provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah (2
unit), Jawa Barat (2 unit), Banten, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat. Ke-14 BLK tersebut
berada di bawah Kementerian Ketenagakerjaan. Sedangkan setiap daerah memiliki
minimal 1 UPTD BLK, dengan Jawa Tengah memiliki BLK terbanyak yaitu 29 UPTD.
Jumlah UPTD di daerah adalah 262 BLK, 44 diantaranya dikelola oleh Pemerintah
Provinsi dan 119 oleh Pemerintah Kabupaten serta 99 sisanya milik Pemerintah
Kota[4].
Dalam rapat kerja KemNaker dengan
Komisi IX, Anggota Dewan berkali-kali menuntut KemNaker untuk segera
menghidupkan kembali fungsi BLK. Diakui oleh KemNaker bahwa banyak BLK yang
tidak digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan setelah 2 tahun
penelitian P3DI di atas. Dengan semakin meningkatnya jumlah pengangguran dan
masalah hubungan industrial baik di dalam maupun luar negeri, maka Pemerintah
tidak bisa menutup mata terhadap fakta rendahnya kualitas tenaga kerja dan
calon tenaga kerja Indonesia.
Referensi:
[1] Badan Pusat Statistik, Data Sosial
Ekonomi Februari 2015, http://bps.go.id/download_file/IP_Februari_2015.pdf, diakses tanggal 6 Februari 2015.
[2] “Standar
Minimum BLK”, Direkorat Jenderal
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Jakarta: Depnakertrans, 2007, hal.
6.
[3]
Retnaningsih, Hartini, dkk. 2012. Laporan Penelitian Kelompok Kesejahteraan Sosial Pengelolaan
Balai Latihan Kerja (Studi tentang Balai Besar Latihan Kerja Industri
Surakarta dan Balai Latihan Kerja
Sulawesi Utara). Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI. Tidak diterbitkan.
[4]
Jawaban Tertulis Atas Pertanyaan Anggota Komisi IX DPR RI
pada Rapat Kerja Menaker Dengan Komisi IX DPR-RI Tanggal 22 Januari 2015. Tidak
diterbitkan.
0 notices:
Post a Comment