[Ulasan Buku] Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken

| Judul Asli: Bibbi Bokkens magische Bibliothek
| Pengarang: Jostein Gaarder & Klaus Hagerup 
| Hak cipta tahun 1999
| Terbit di Indonesia: Maret 2011
| Penerbit: PT. Mizan Pustaka

Nils dan Berit adalah dua sepupu yang tinggal berjauhan. Mereka memutuskan untuk saling menulis buku-surat dan mengirimkannya. Nils tinggal di Oslo, sedangkan Berit bersekolah di kota kecil FrƄerlandsfjord.

Kedua anak tersebut tidak pernah menduga bahwa pertemuan mereka dengan seorang wanita aneh bernama Bibbi Bokken akan menjadi misteri panjang yang mengerutkan kening. Entah kenapa wanita itu selalu ada di sekitar mereka. Bibbi membayari buku puisi yang diinginkan Nils di Oslo. Berit melihatnya berbicara sendiri mengenai buku klasifikasi desimal Dewey di kotanya. 


Sepertinya ia benar-benar penggila buku. Berit mengetahui bahwa Bibbi selalu mendapat paket dari seluruh dunia dan isinya buku! Namun, ketika ia mengendap masuk ke rumah wanita misterius itu, tidak ada satu bukupun yang tampak. Hmm, ini benar-benar tak masuk akal. Sementara itu, Nils menghadapi bahaya ketika seorang pria botak dengan senyum memuakkan beberapa kali berusaha merebut buku-suratnya. Bahkan pria itu mengikutinya ke Roma saat Nils berlibur bersama orang tuanya.

Ada apa ini? Apa yang diinginkan pria itu dari buku Nils dan Berit? Kemana semua buku Bibbi Bokken? 

Menggelitik? Sejujurnya ketika saya membeli buku ini, harapan saya hanyalah kualitas tulisan luar biasa Jostein Gaarder yang telah berhasil menelurkan Dunia Sophie. Bahkan saya  agak takut untuk berspekulasi karena kutipan reviewnya yang “terlalu” hebat. Banyak buku yang direkomendasikan orang-orang hebat ternyata tidak sesuai dengan selera saya. hehe. Sama halnya banyak film drama yang mendapat oscar biasanya sangat membosankan.

Namun, ternyata dugaan saya salah. Buku ini adalah salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini. Buku ini ditulis dari perspektif dua remaja, sehingga mudah untuk dicerna. Bukankah buku yang baik adalah yang berisi tulisan sederhana tapi sarat makna? Tidak perlu banyak pengandaian ataupun istilah yang memusingkan, tulisan-tulisan Nils dan Berit tepat mengena.

Ada dua bagian dalam buku itu. Bagian pertama ditulis dengan gaya diary. Seolah-olah kita sedang membaca pengalaman kedua sepupu yang ditulis dalam buku surat tersebut. Bagian kedua adalah narasi ketika Nils dan Berit tidak lagi menuliskan pengalaman mereka dalam buku namun berubah menjadi pemeran aktif dalam cerita. Pada bagian kedua Nils dan Berit bergantian menjadi “Aku” dan anehnya pergantian peran itu ditulis dengan normal dan tidak memutuskan alur cerita yang sedang berjalan. Namun, kita tetap mengetahui sudut pandang siapa yang sedang bercerita disini. Luar biasa.

Tidak salah jika Oldenburgische Volkszeitung menulis bahwa buku ini adalah “Buku terbaik mengenai buku dan budaya baca yang ada saat ini”. Tulisan di dalamnya tidak hanya mengenai kisah Nils dan Berit, tapi menyangkut A.A. Milne (Winnie The Pooh), Astrid Lindgren, Anne Frank, Klasifikasi Desimal Dewey dan banyak buku hebat lain. Jelaslah bahwa tidak ada yang bisa menulis buku hebat tanpa membaca buku. Awalnya saya juga takjub bahwa seorang anak usia 12 tahun dan 13 tahun dapat memiliki begitu banyak referensi. Ternyata kuncinya adalah minat baca dan fasilitas membaca. Kebetulan mereka memang suka membaca (Nils bahkan membaca Winnie The Pooh versi bahasa Inggris, suatu hal yang luar biasa untuk seoang anak Norwegia, bukan? Saya saja baru membaca versi digitalnya tahun lalu), lalu di sekolah pun diberikan tugas membaca karya sastra sehingga pengetahuan mereka semakin luas. 

Orang tidak suka membaca dengan sendirinya. Tapi, mereka perlu lingkungan yang kondusif untuk dapat menumbuhkan minat baca. Dan hal itu perlu ditumbuhkan sejak kecil. 

Satu hal lagi yang perlu saya pertanyakan setelah membaca buku ini, yaitu apakah jaman buku cetak sudah berakhir? Saya termasuk orang yang menyukai pekerjaan digital, meskipun begitu saya tetap membeli buku cetakan konvensional. Dengan meningkatnya kemampuan manusia untuk menciptakan teknologi digital, buku elektronik menjadi pilihan yang semakin disukai. Buku elektronik mudah diunduh, ringan dibawa kemana-mana jika anda memiliki alat bacanya, dan dapat dengan cepat dibagikan kepada calon pembaca lain. Sama seperti buku konvensional, anda juga bisa membubuhi highligh untuk kalimat-kalimat yang menarik bagi anda (suatu hal yang sering saya lakukan pada buku saya, namun akhir-akhir ini saya hanya menempelkan post it agar tidak merusak), menekan tombol “bookmark” untuk mengingatkan sejauh mana bacaan anda, bahkan menuliskan komentar di samping bacaan tersebut.

Lalu, apakah buku konvensional sudah tidak dibutuhkan lagi?

Buku digital adalah masa depan yang tidak dapat dihindari. Namun, saat ini penggunaannya di Indonesia masih terbatas pada kalangan tertentu. Pemerintah sendiri telah berusaha memasyarakatkan buku digital dalam program Buku Sekolah Elektronik (BSE), namun tampaknya masih belum optimal. Sebuah penelitian mengenai optimalisasi BSE di Jawa Timur menunjukkan bahwa:

·      siswa lebih tertarik menggunakan BSE hasil cetakan penerbit (yang diunduh dari website), ketimbang mengunduh sendiri.

·      Bahkan ketika mengunduh pun, siswa akhirnya akan mencetak lagi BSE tersebut.

·      BSE dianggap tidak cukup komprehensif untuk membantu pembelajaran siswa. BSE yang disediakan masih terbatas tulisan, belum dilengkapi dengan tampilan multimedia yang  mendukung proses pembelajaran. Dengan BSE yang ada sekarang, siswa masih harus bergantung pada penjelasan guru dalam memahami informasi yang tersedia.

Kegagalan BSE berakar dari budaya membaca yang belum kokoh. Seorang yang senang membaca akan mau membaca apa saja dimana saja dengan menggunakan alat apa saja. Namun, saat ini siswa kita masih banyak yang tidak senang membaca. Buktinya, mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah yang paling tinggi persentase ketidaklulusannya pada Ujian Nasional tahun 2011 ini.

Pemaknaan fungsi buku digital memang berbeda pada setiap orang. Namun, dengan kultur membaca yang rendah, manusia Indonesia masih belum mampu bergerak dari fase buku cetak konvensional menuju fase buku digital. Kebanyakan yang mengunduh buku digital pun akhirnya akan mencetaknya karena tidak terbiasa membaca melalui layar.

Untuk saat ini, buku digital lebih baik berperan sebagai review dan belum mampu menggantikan buku cetak konvensional. 

Saat ini penting kiranya kita memfokuskan pada penumbuhkembangan minat baca dengan menyusun program kelas baca. Bahkan buku Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken ini rasanya harus mendapatkan tempat sebagai buku wajib baca di sekolah dasar.

0 notices:

Post a Comment