Tentang Kebahagiaan

Sebagian besar manusia merasa bahagia. Setidaknya itulah yang disimpulkan dalam buku Geography of Bliss. Sayangnya saya berada pada masyarakat yang selalu bertanya kenapa orang lain bisa bahagia, sedangkan saya tidak?” Oh ya, kebahagiaan orang lain merupakan ukuran untuk mengutuk diri sendiri. Untuk menyalurkan sikap itu, produser opera sabun membuat beratus-ratus episode agar kita menyesali keadaan kita saat ini: kurang kaya, kurang cantik atau kurang pintar. Bagus. Sepertinya mereka cukup berhasil mengingat setiap sore hingga malam jutaan pasang mata terpaku menatap adegan dramatis di televisi nasional.

Oh, tidakkah kita lelah mengutuki hidup yang memang sudah berat ini? Tidakkah kita ingin keluar dari lingkaran setan ketidakmujuran dan mulai melangkah menuju kebahagiaan? Permasalahannya tidak ada yang namanya GPS kebahagiaan. Anda bisa tersesat kapan saja. Dan belum tentu bahagia. Brilian.

Kalau sebagian besar orang bahagia, ada kemungkinan kita juga bahagia. Eric Weiner menuliskan seakan bahagia adalah sebuah tujuan hidup. Ini membuat saya bingung, kalau bahagia adalah tujuan, maka kemungkinan besar saya tidak akan pernah mencapai garis finis. Apapun yang membuat saya bahagia sekarang bisa jadi tidak berarti lagi keesokan hari. Target kebahagiaan itu selalu berubah sama halnya dengan kebutuhan manusia yang menggeliat. Biarpun Maslow menetapkan hirarkhi kebutuhan yang mendasari perilaku manusia, bukan berarti hanya 5 perkara itu. Saya yakin karena suatu kali seorang anak kelas 1 SD lewat didepan saya, menyapa dan menyalami saya. Dan itu membuat saya sangat bahagia.

Penelitian menyebutkan (seperti yang dikutip Mr. Weiner), bahwa orang yang menikah lebih bahagia daripada yang single. Orang yang memiliki anak kurang bahagia dibandingkan mereka yang menikah tanpa anak. Orang yang berpendidikan tinggi tidak lebih bahagia dibandingkan mereka yang hanya bertitel sarjana.

Saya pun hidup sendiri. Pada tahun baru kemaren saya menghabiskan waktu dibalik selimut hangat saya sementara hujan silih berganti dengan bunyi petasan hingar bingar di luar. Siang harinya saya masih bekerja dan menyelesaikan tugas saya dengan cepat. Saya bahagia melihat klien saya puas dengan konsultasi yang saya berikan. Saya dapat bepergian tanpa takut mengabaikan keluarga saya. Saya bisa tidur sepuasnya tanpa takut dibangunkan si kecil.

Dan saya pun berhenti menganggap kebahagiaan sebagai suatu kontinum, karena tidak selamanya seorang yang menikah lebih bahagia ketimbang seorang yang hidup sendiri. Ternyata kebahagiaan itu bersifat kontekstual. Kita bahagia berada di tengah keluarga dalam perayaan keagamaan. Di sisi lain, orang bisa bahagia mengunci dirinya di ruang kerja untuk menyelesaikan deadline. Kebahagiaan itu sesederhana ini lho. kemudian, ijinkan saya bertanya apakah anda bahagia saat ini?

0 notices:

Post a Comment