Jika anda menggunakan ide orang lain, baik tertulis maupun lisan, dalam karya tulis anda, maka anda wajib menyebutkan nama orang itu. Sesederhana ini konsep percakapan dunia ilmiah melalui tulisan. Namun, praktiknya tidak semudah diucapkan. Di tahun 2019 saja sudah ada 2 kasus plagiarisme oleh tiga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Muhammadiyah Lhokseumawe atas karya mahasiswanya (Masriadi, 2019) dan oleh rektor Unnes (Syambudi, 2019).

Publikasi ilmiah merupakan bentuk pertanggungjawaban peneliti mengenai kegiatan penelitiannya. Pada tahun 2019, pemerintah menargetkan agar sumber daya manusia Indonesia dapat menerbitkan 30.000 publikasi ilmiah bereputasi internasional. Untuk memenuhi ambisi tersebut, dosen, peneliti, dan mahasiswa dituntut menulis jurnal sebagai syarat kelanjutan studi atau karirnya. Bisa jadi tekanan tersebut menimbulkan fenomena penjiplakan karya orang lain atau plagiarisme, baik di kalangan sivitas akademika maupun peneliti pada umumnya.
Apa itu plagiarisme?
Dalam Permendiknas 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, plagiat diartikan sebagai perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Survei iThenticate.com di tahun 2013 membuat daftar beberapa jenis plagiarisme, yaitu (1) secondary source, di mana peneliti hanya mengutip sumber primer yang disebutkan dalam sumber sekunder yang dibacanya dan tidak mengutip sumber sekunder yang dibacanya; (2) invalid source, informasi yang digunakan salah atau tidak memadai terhadap sumber referensi yang digunakan; (3) duplication, mengutip karyanya sendiri; (4) paraphrasing, mengubah teks dari sumber tapi tidak menyebutkan sumbernya; (5) repetitive research, peneliti menggunakan data dan metode yang sama untuk penelitian baru tanpa menyebutkan metode itu pernah digunakan pada penelitian sebelumnya; (6) replication, mengirimkan naskah ke beberapa saluran publikasi (jurnal, konferensi, dll); (7) misleading attribution, tidak memadai dalam penyebutan pihak-pihak yang terlibat dan berkontribusi dalam sebuah penelitian (naskah). Termasuk juga mencantumkan pihak yang tidak mempunyai kontribusi dalam riset tersebut; (8) unethical collaboration, terjadi saat orang-orang yang berkolaborasi melanggar kesepakatan dan etika kolaborasi; (9) verbatim plagiarism, mengulang ide atau karya orang lain kata-per kata (verbatim) tanpa membubuhkan kutipan atau rujukan; dan (10) complete plagiarism, plagiasi secara total.
Penyebab plagiarisme
Kasus plagiarisme di Indonesia merupakan pelanggaran kode etik yang sudah mengkhawatirkan karena tidak hanya dilakukan mahasiswa atau peneliti pemula saja, tapi juga oleh peneliti setingkat doktor (Sukaesih, 2018: 213). Menurut Suganda (2006, dalam Sukaesih, 2018: 211), plagiarisme ditumbuhkan dari (1) kurangnya pelatihan atau sosialisasi yang mengakibatkan orang tidak tahu tentang tata cara menulis yang baik dan tata asas; (2) kurangnya akses kepada sumber kepustakaan; (3) rendahnya apresiasi atau rasa hormat kepada sesama penulis; dan (4) rendahnya atau tidak adanya sanksi bagi seorang plagiat.
Dampak plagiarisme
Melakukan plagiarisme menurunkan harkat dan martabat peneliti. Plagiarisme menghambat kemajuan penelitian karena dengan mencontek tidak ada pembaharuan yang dihasilkan. Plagiarisme telah menjadi ancaman bagi integritas ilmu pengetahuan (Abad & Garcia, 2018, dalam Shadiqi, 2019: 31), yang jika dibiarkan akan menyebabkan penulis merasa dicurangi dan tidak dihargai, bahkan menurunkan motivasi untuk menulis. Selain itu kanal publikasi yang menerbitkan karya plagiat akan kehilangan integritas dan kepercayaan dari pembacanya.
Belum ada kesepakatan bagaimana menghukum plagiat. Beberapa universitas di Inggris menerapkan denda bagi mahasiswa yang ketahuan melakukan plagiat (Bailey, 2010). Jika dilakukan oleh sivitas akademika, biasanya berujung pada pengunduran diri saja. Tidak ada hukuman pidana bagi plagiat. Sementara, dari sudut pandang industri penerbitan jurnal ilmiah lebih baik kasus plagiarisme diselesaikan dengan diam-diam untuk menjaga nama baik penerbit (Bailey, 2010).
Jika ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikan plagiarisme, maka itu adalah pendidikan dan teknologi (Bailey, 2010). Kita perlu mengedukasi masyarakat mengenai plagiarisme dan menggunakan software pendeteksi plagiarisme.
Referensi:
Bailey, J. (2010, Juni 23). Plagiarism Punishment. Diakses dari http://www.ithenticate.com/plagiarism-detection-blog/the-top-10-plagiarism-stories-of-2016#.XdaY3JMzYWI, pada 21 November 2019.
Masriadi, (2019. Maret 5). Soal 3 Dosen Plagiarisme, Kemenristek Dikti Kembalikan ke STIKes Muhammadiyah. Diakses dari https://regional.kompas.com/read/2019/03/05/15305461/soal-3-dosen-plagiarisme-kemenristek-dikti-kembalikan-ke-stikes-muhammadiyah, pada 21 November 2019
Syambudi, I. (2019, Agustus 9). Dugaan Plagiat Disertasi Rektor Unnes di UGM. Diakses dari https://tirto.id/dugaan-plagiat-disertasi-rektor-unnes-di-ugm-efYy, pada 21 November 2019.
0 notices:
Post a Comment