Keberagaman yang dirindukan

Hari ini kami mengundang dua pembicara dalam Focus Group Discussion bertemakan "Pemenuhan dan Pelindungan Hak-hak Penyandang Disabilitas". Pembicara pertama, Ibu Yanti dari Kementerian Sosial menceritakan banyaknya program Kemensos yang dirancang untuk mengelola penyandang cacat. Sebagaimana banyak agenda pemerintah, jarang yang terlaksana secara efektif karena berbagai kendala, termasuk dana, sumber daya manusia, maupun birokrasi. Menarik ketika beliau menyinggung kehebatan Otonomi Daerah yang secara tidak langsung memutus "niat baik" program sosial bagi penyandang disabilitas. Ia menjelaskan bahwa tugas melindungi penyandang disabilitas bukanlah proyek menarik bagi daerah, oleh karena itu sedikit daerah yang memiliki perhatian terhadap penyandang disabilitas.
diambil dari @P3DI_KS


Sampai disini saya merasa perlu mengingat betapa banyaknya Undang-Undang yang diproduksi DPR, namun tidak dijalankan di daerah. Saya menyadari salah satu penyebabnya adalah gap antara ilmunya DPR RI dengan standar norma di lapangan (baca: daerah). Undang-Undang memang dibuat dalam bentuk yang seideal mungkin, namun belum tentu dapat dijalankan secara optimal oleh pemerintah daerah.

Disisi lain, permasalahan ini belum apa-apa dibandingkan kurangnya kontrol Pemerintah Pusat terhadap daerah. Berkat Otonomi Daerah, semua kendali berada di tangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat hanya berperan sebagai penonton. Jujur saja, ada banyak yang tidak dimengerti oleh pemerintah daerah. Mereka tau medan, tapi belum tentu memahami strategi. Bukti konkretnya bagaimana? Setiap kali saya ke turun ke lapangan, pemerintah daerah terlihat tidak mengoptimalkan waktu kerjanya. Misalnya, setelah makan siang (jam 1) jarang sekali kantor pemerintah yang sudah siap bekerja. Pegawainya pulang ke rumah karena merasa tidak banyak pekerjaan.

Saya yakin ini bukan masalah tidak banyak pekerjaan, tapi tidak tahu apa yang mau dikerjakan. 

Apakah dana menjadi masalah? Saya percaya tidak. Uang tidak pernah menghalangi kreatifitas. Namun berharap dibayar selalu menjadi penumpul kinerja.

diambil dari @P3DI_KS

Selanjutnya, Pembicara kedua adalah Ibu Mimi L dari Mimi Institut, sebuah yayasan yang membantu penyandang disabilitas untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Beliau sendiri menderita kebutaan sejak kecil, namun itu tidak menghambatnya untuk mencari ilmu. Saat ini beliau tengah menjalani program doktoral.

Poin penting dari yang disampaikan Ibu Mimi adalah bagaimana penyandang disabilitas tidak ingin dikasihani. Mereka ingin diperlakukan sebagai salah satu keragaman, sama halnya dengan keragaman suku bangsa dan agama.

Ia menceritakan bagaimana dirinya berjuang untuk mengikuti pendidikan di sekolah. Berat baginya, karena meskipun berhasil mengumpulkan tekad dan kepercayaan diri, masyarakat belum siap untuk menerima seorang penyandang disabilitas berusaha melakukan kegiatan orang normal. Ia kerap diejek buta dan itu menyakitkan. Sama menyakitkannya ketika anda diejek hitam, pendek, gendut. You can't change it! Thus it becomes an insult. 

Menurut Bu Mimi, yang perlu diubah adalah bagaimana masyarakat memandang penyandang disabilitas. Ia berharap mereka tidak dilihat sebagai seorang yang tidak bisa apa-apa. Bu Mimi menekankan pada pola pikir (mindset) masyarakat yang sudah tertanam, misalnya ketika membicarakan orang buta otomatis yang terpikirkan adalah pengamen, tukang pijat atau operator. Jika membicarakan penyandang tuna rungu dikonotasikan dengan pekerjaan menjahit. Padahal ada banyak bidang pekerjaan yang bisa dilakukan oleh penyandang disabilitas. Ia mencontohkan McDonalds di luar negeri yang mempekerjakan penyandang cacat mental untuk menuangkan cola ke gelas.  Mereka tidak memiliki intelektual yg tinggi, sehingga tidak mudah teralihkan perhatiannya. Dengan begitu, tugas yang diberikan dapat dikerjakan dengan penuh fokus.

Di perusahaan-perusahaan juga perlu diberikan pelatihan bagaimana menghadapi penyandang disabilitas. Misalnya di bank, Bu Mimi pernah mengalami kejadian buruk karena satpam tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan orang buta, maka beliau ditolak untuk menggunakan layanan bank. Nah, front liner inilah yang semestinya diberikan pelatihan dan pemahaman karena mereka yang pertama kali berhadapan dengan klien yang memiliki disabilitas.

Dari FGD ini saya perlu menggarisbawahi betapa konyolnya kebanyakan Undang-Undang Perlindungan kita. Misalnya Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Kesejahteraan Gender, Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa dan sekarang Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang semuanya ingin melindungi subjek hukum tersebut. Padahal inti dari peraturan tersebut adalah bagaimana setiap warga negara mendapatkan haknya, baik itu wanita, anak, orang dengan gangguan jiwa maupun penyandang cacat yang notabene dianggap tertindas. Sebagai warga negara, maka hak asasi mereka otomatis harus dipenuhi. Nah, dengan adanya undang-undang yang khusus diatas, bukankan memberikan perlakuan khusus bagi mereka? Tentu ini akan membuat warga lain cemburu. Bisa-bisa nanti ada Undang-Undang Perlindungan Suami. Eh, meskipun belum ada statistik yang menyebutkan jumlah suami yang dilecehkan oleh istrinya, baik secara verbal maupun fisik, namun mereka jelas termasuk kelompok tertindas. Ingat, wanita adalah makhluk yang kejam. Yang di kereta tidak mau memberikan tempat duduk kepada wanita hamil. Nah lho.

Yang dibutuhkan bukanlah perlakuan khusus bagi penyandang disabilitas, tapi sensitifitas yang mendukung pengembangan diri mereka. Perlakukan mereka selayaknya manusia biasa, namun bantu mereka melewati rintangan disabilitasnya. Jika mereka tidak bisa melihat, bantu dengan buku braille, audio, tuntun ketika di toilet dan menyeberang jalan. Bukannya malah diomongin, "memangnya kamu bisa kuliah? Ruang kelas kita di lantai 3 lho." Kalimat-kalimat negatif seperti itu sebenarnya mudah terucapkan karena terbiasa mencederai mental orang lain.

" Wah, kamu gemukan ya" 
"Soal seperti itu saja kamu tidak ngerti". 

Kalau sudah berbicara tentang pola pikir, maka tidak lepas dari sosialisasi informasi, pendidikan yang sensitif (terhadap segala sesuatu, bukan hanya masalah disabilitas), pola asuh dalam keluarga yang menekankan empati. Bukankah karena kita merasa sudah budaya untuk menghina orang lain maka kita tidak lagi merasa sungkan untuk mengucapkan kalimat yang menyakitkan?

0 notices:

Post a Comment