Jamu berbahaya yang beredar di Indonesia

SONY DSC
Suatu hari, saya mengunjungi rumah sakit Tebet untuk menjenguk salah satu rekan kerja yang dirawat karena DBD. Pasien disebelah rekan saya ternyata mengalami kecelakaan yang tidak biasa. Ia meminum jamu yang kemudian membakar bibir dan lidahnya. Beruntung nyawanya terselamatkan. Melihat bibirnya yang hancur, sungguh menakutkan terbayangkan bagaimana jika jamu tersebut mencapai organ vitalnya.

Peredaran obat yang mengandung bahan berbahaya semakin mengkhawatirkan. Dr. Marius dari Lembaga Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (LPKKI) menyatakan bahwa semakin lama semakin banyak obat tradisional berbahaya yang beredar di masyarakat, dimana mereka berasal dari produksi lokal maupun impor. LPKKI menemukan jenis jamu yang banyak dikonsumsi masyarakat, antara lain:

a. Pegal Linu

Biasanya jamu untuk pegal linu mengandung kortiko steroid, seperti fenilbutazon, dexamethason. Obat-obat ini menyebabkan moon face, bahkan pada kasus tertentu memaksa pasien untuk cuci ginjal.

b. Obat Pelangsing

Obat Pelangsing yang berbahaya mengandung Sibutramine. Sibutramine merupakan salah satu kandungan yang dilarang beredar sejak 14 Oktober 2010.  Badan POM RI telah melakukan pembatalan izin edar dan penarikan produk obat yang mengandung sibutramine atas dasar informasi terbaru mengenai aspek keamanan penggunaan sibutramine jangka panjang dari hasil studi SCOUT yang menunjukkan adanya peningkatan risiko kejadian kadiovaskular pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular.

c. Obat Kuat

Obat kuat yang berbahaya ini memiliki kandungan Sildenafil. Sildenafil hanya boleh diresepkan oleh dokter yang sudah mendapat pelatihan. Penyalahgunaan Sildenafil dapat menyebabkan Sindrom Takayasu.

SONY DSC

Riset Kesehatan Dasar 2010(2010:xi) menemukan bahwa Persentase penduduk Indonesia yang pernah mengkonsumsi jamu sebanyak 59,12 persen yang terdapat pada semua kelompok umur, laki-laki dan perempuan, baik di perdesaan maupun perkotaan. Persentase penggunaan tanaman obat berturut-turut adalah jahe (50,36%), diikuti kencur (48,77%), temulawak (39,65%), meniran (13,93%), dan pace (11,17%). Selain tanaman obat di atas, sebanyak 72,51 % menggunakan tanaman obat jenis lain. Bentuk sediaan jamu yang paling banyak disukai penduduk adalah cairan, diikuti seduhan/serbuk, rebusan/ rajangan, dan bentuk kapsul/pil/tablet. Penduduk Indonesia yang mengkonsumsi jamu, sebesar 95,60 persen merasakan manfaatnya pada semua kelompok umur dan status ekonomi, baik di perdesaan maupun perkotaan.

Di satu sisi, masyarakat banyak mengkonsumsi obat tradisional karena dianggap tidak memiliki efek samping. Padahal, setiap obat pasti ada efek sampingnya. Salah satu kelemahan pengelolaan jamu adalah masih sedikitnya penelitian dan upaya saintifikasi untuk mengetahui kadar manfaat dan efek sampingnya. Dengan begitu, banyak pengguna jamu hanya mengandalkan sugestinya dalam mengkonsumsi jamu. Tidak jarang mereka berpikir bahwa jika sebuah jamu tidak dirasakan manfaatnya, mereka merasionalisasikan bahwa “obat itu sifatnya cocok-cocokan”.

Saat ini, pengelolaan jamu diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Jamu, juga disebutkan dalam  Undang-Undang no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Bab Upaya Kesehatan Bagian Pengobatan Tradisional. Pelayanan Kesehatan tradisional harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.

Di Indonesia, lembaga yang ditunjuk untuk melakukan pengujian terhadap kualitas suatu obat tradisional adalah Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang menyeleksi produk obat tradisional sebelum dapat dijual bebas di pasaran. Lalu, ada Komisi Nasional Saintifikasi Jamu yang dibuat berdasarkan Permen 003/2010 untuk melakukan penelitian atas kualitas jamu. Meskipun tujuannya hampir serupa, kedua lembaga bergerak sendiri-sendiri. Sementara BPOM kebanjiran tugas untuk menganalisa ribuan produk obat tradisional, Komnas Saintifikasi jamu cenderung membatasi penelitiannya pada penelitian dasar.Sungguh disayangkan karena keduanya dapat bekerja sama untuk menyaring obat-obat tradisional yang menyerbu masyarakat. Akibatnya, prosedur perijinan di BPOM membutuhkan waktu yang lama, sehingga produsen yang tidak sabar langsung menjual produknya tanpa label BPOM.  Memang, diakui bahwa setiap harinya BPOM menerima ribuan aplikasi, yang belum semuanya memiliki berkas yang lengkap.

SONY DSC

Jika sudah begitu, maka jelas konsumenlah yang paling dirugikan. Oleh karena itu maka konsumen sebaiknya:

1. mencermati label jamu.

JiJika berbentuk kemasan, maka perlu mengecek nomor registrasi BPOM untuk memastikan bahwa ramuan ini telah melalui proses seleksi dan uji klinis. Jika jamu dijual oleh penjual jamu gendong, maka pastikan tidak ada penambahan Bahan Kimia Obat (BKO) dalam ramuan tersebut.

2. menggunakan jamu secukupnya.

Jamu hanya dapat digunakan sebagai suplemen, tidak bisa menyembuhkan penyakit. Oleh karena itu, penggunaan yang teratur tapi tidak berdosis tinggi lebih dianjurkan daripada digunakan ketika mendapat masalah kesehatan.

Jamu adalah harta karun dalam dunia kesehatan Indonesia. Namun, masih perlu banyak pengembangan dan penelitian sebelum jamu dapat dijadikan salah satu tonggak upaya kesehatan nasional.

0 notices:

Post a Comment